Senin, 19 September 2011

Mendongeng di Era Digital

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Kemajuan zaman ternyata tak membunuh tradisi mendongeng. Dongeng justru makin digemari sebagai alat perekat komunikasi antara orangtua dan anak. Hanya cara mendongengnya saja yang sedikit berubah. Budi Setiawan (36) awalnya hanya ingin mendidik anaknya sendiri dengan dongeng. Ia mendongengi anak tunggalnya, Ayunda Damai Fatmarani, sejak bayi hingga kini telah berusia lima tahun. "Dia sangat senang sekali. Lama-lama, mendengar dongeng menjadi kebutuhannya," kata Budi. Pada saat harus pergi bertugas ke luar kota pun, Budi tetap mendongengi anaknya. Dia selalu meninggalkan rekaman dongeng di laptop sehingga Damai tetap bisa mendengarkan dongeng dari ayahnya."Setelah saya pulang, saya akan mengulang kembali dongeng itu secara langsung," tambahnya. Suatu hari, Budi membaca buku cerita Toto Chan sebagai materi dongeng. Damai yang saat itu berusia 3,5 tahun sangat menikmati dan banyak bertanya. Dua hari kemudian, dia meminta buku Toto Chan dan membacanya sendiri. Ibunya lantas merekam dan rekaman itu didengarkan oleh Budi sekadar untuk kangen-kangenan ketika pergi ke luar kota. Budi mengunggah rekaman itu di blog-nya, indonesiabercerita.org, dan menceritakan tentang rekaman dongeng itu kepada teman-temannya di Twitter. Ternyata, rekaman itu mendapat banyak respons. "Dari situ, kami memutuskan merekam dongeng-dongeng dalam bentuk MP3. Dongeng itu bisa diunduh orangtua yang membutuhkan," tambahnya.

Hingga awal April lalu, jumlah podcast dongeng yang masuk ke blog indonesiabercerita.org mencapai 38 buah. Sebagian dongeng dibuat anggota sanggar dongeng yang didirikan Budi Setiawan dan sebagian lagi kiriman teman-teman Twitter.
Ibu dua anak, Indah Ariani (35), juga turut tertarik menyumbang rekaman suaranya yang sedang mendongeng ke blog indonesiabercerita.org. Sudah dua rekaman dongeng yang dia kirim, yakni berjudul Batu yang Dihukum dan Mei-mei. Namun, Indah mengaku belum memanfaatkan peranti gadget secara maksimal untuk mendongeng. "Mungkin kalau aku sering pergi jauh, aku akan gunakan gadget untuk dongeng," katanya. Indah mendongengi dua anaknya sejak mereka kecil hingga sekarang ketika mereka sudah berusia 10 tahun dan 13 tahun. Alasannya sederhana saja, Indah ingin menularkan tradisi mendongeng yang dulu juga menjadi pengalamannya sewaktu kecil. Dongeng yang diceritakannya, antara lain dari kisah HC Andersen, kisah para nabi, sampai ensiklopedia anak. "Sampai-sampai anak saya beranggapan, ensiklopedia itu dongeng ilmu pengetahuan. Saya mendongeng kapan saya sempat dan akhirnya jadi kebutuhan," tambahnya. Dongeng pun tak melulu dilakukan menjelang tidur, tetapi bisa di mana dan kapan saja, seperti saat terjebak macet di mobil. Sesekali Swastika mendongeng dengan menggunakan boneka tangan. Melalui dongeng, dia mengajari anak-anaknya tentang nilai kehidupan tanpa harus memerintah atau mendikte. Anak-anak akan belajar sendiri dan merasa nyaman karena seperti diajak bermain.

Budi yang berprofesi sebagai dosen psikologi di Universitas Airlangga menambahkan, dongeng adalah komunikasi yang bisa menggerakkan orang karena langsung menyentuh emosi. Seiring perkembangan zaman, Budi memilih merekam dongeng dalam bentuk audio ketimbang visual karena audio menciptakan imajinasi di otak dibandingkan visual. Audio juga dinilai lebih praktis. "Di otak yang ada itu bukan teks, tetapi imaji. Misalnya, kalau mendengar kata perang yang terbayang bukan teks, melainkan gambar perang. Jadi, budaya dongeng berbeda dengan budaya menonton," kata Budi. Di Barat, lanjut Budi, tradisi merekam suara (audio) itu berjalan dengan baik, sementara di Indonesia tidak. Masyarakat Indonesia belum punya kebiasaan untuk merekam suara dan bercerita. Yang menonjol justru kebiasaan memotret diri sendiri. Psikolog dari Universitas Airlangga, Rudi Cahyono, menambahkan, dongeng telah menjadi bagian dari budaya masyarakat. Dongeng cenderung tidak menghakimi, memberi ilustrasi, dan mampu mengubah seseorang tanpa adanya perintah atau instruksi.

Sumber: http://edukasi.kompas.com

Jumat, 16 September 2011

Rancaknya Orang Minang "Saisoeak"

Ditulis ulang : Muhammad Ilham

Banyak orang percaya tidak boleh berkodak bertiga karena akan tersua yang tidak elok nantinya. Ada yang percaya, kalau berfoto bertiga, salah seorang akan cepat mati. Tapi yang jelas gadis dari Padang Panjang ini telah melanggar tabu itu dengan berfoto bertiga. Kita tidak tahu bagaimana nasib ketiga gadis Minang ini setelah berfoto bersama. Tapi yang penting didiskusikan di sini adalah image yang terekam dalam foto ini, sebab foto adalah sebuah situs sejarah. Kelihatan betapa rancaknya pakaian pesta perempuan Minang di zaman dulu, tak kurang bagusnya dibandingkan dengan pakaian wanita Minang zaman sekarang. Kainnya sejenis songket balapak yang bagus. Demikian pula dengan baju, selendang dan hiasan kepalanya. Tikuluak gadis yang berdiri di tengah kelihatan agak berbeda modelnya: ada tambahan kain di tengahnya. Di leher mereka kelihatan untaian perhiasan dan di lengan terpasang galang gadang. Rupanya inilah bentuk pakaian tradisional Minangkabau dari Padang Panjang zaman dulu. Tak tahu apakah para wanita Padang Panjang sekarang masih suka memakai pakaian bagus seperti ini atau sudah nge-njeans dan nge-you can see. Banyak bukti visual menunjukkan bahwa setiap daerah di Minangkabau memiliki aksesoris pakaian yang khas, di samping ada ciri umum yang berlaku di seluruh Minangkabau.

Kalau kita lihat foto ini, kelihatan bahwa wanita Minang cukup dimanjakan dengan pakaian bagus. Jarang kita lihat dalam foto-foto klasik tempo doleoe perempuan Minang yang berpakaian tidak sandereh. Barangkali ini salah satu efek dari sistem matrilineal Minangkabau: wanita cukup dimanjakan. Foto ini tampaknya dibuat dengan sebagus mungkin. Artinya, penampilan ketiga gadis ini memang sudah dikondisikan sebelumnya. Bukan tidak mungkin foto ini dibuat di sebuah ‘studio’. Judul foto ini adalah “Minangkabausche vrouwen in nationale kleederdtracht, Padang-Pandjang” (Perempuan Minangkabau dalam pakaian nasional [adat] dari Padang Panjang). Foto ini berbentuk kartu pos, dicetak oleh Tjan Djoe Sien di Padang sekitar tahun 1910. Tampaknya foto ini telah dikirimkan dari Nederlandsch East Indies ke suatu tempat lain. Menurut keterangannya, kartu pos ini dikirim ke Beyrouth di Syiria. Perangko yang tertempel di kartu pos ini adalah salah satu seri perangko Hindia Belanda. Kalau ada pencinta filateli kita yang memiliki perangko seperti ini, tentu sudah bisa belasan juta pula harganya. Pakaian adalah salah satu identitas etnis. Jenis pakaian tertentu memberikan kepercayaan diri kepada pemakaianya. Pakaian berdampak kepada kepribadian. Orang mungkin tak sadar bahwa imperialisme budaya bisa dilakukan antara lain melalui pakaian. Jadi, alangkah bagusnya jika orang Minangkabau tetap menghargai pakaian tradisionalnya.

Sumber : (Suryadi – Leiden, Belanda/Sumber foto: http://www.worthpoint.com/)
(Judul merupakan improve dari Judul Aslinya : Gadis Minang dari Padang Panjang)

Minggu, 04 September 2011

Kerendahan Hati



Taufik Ismail – Kerendahan Hati

Kalau engkau tak mampu menjadi beringin
yang tegak di puncak bukit
Jadilah belukar, tetapi belukar yang baik,
yang tumbuh di tepi danau

Kalau kamu tak sanggup menjadi belukar,
Jadilah saja rumput, tetapi rumput yang
memperkuat tanggul pinggiran jalan

Kalau engkau tak mampu menjadi jalan raya
Jadilah saja jalan kecil,
Tetapi jalan setapak yang
Membawa orang ke mata air

Tidaklah semua menjadi kapten
tentu harus ada awak kapalnya….
Bukan besar kecilnya tugas yang menjadikan tinggi
rendahnya nilai dirimu
Jadilah saja dirimu….
Sebaik-baiknya dari dirimu sendiri

—————————————–

Douglas MallochBe the Best of Whatever You Are

If you can’t be a pine on the top of the hill,
Be a scrub in the valley — but be
The best little scrub by the side of the rill;
Be a bush if you can’t be a tree.

If you can’t be a bush be a bit of the grass,
And some highway happier make;
If you can’t be a muskie then just be a bass —
But the liveliest bass in the lake!

We can’t all be captains, we’ve got to be crew,
There’s something for all of us here,
There’s big work to do, and there’s lesser to do,
And the task you must do is the near.

If you can’t be a highway then just be a trail,
If you can’t be the sun be a star;
It isn’t by size that you win or you fail —
Be the best of whatever you are!