Rabu, 19 November 2014

Malika Ilham .... SELAMAT ULANG TAHUN NAK

[ dari Ayah untuk ananda terkasih, "Sang Tengah" Malika Ilham ]

SELAMAT ULANG TAHUN, NAK.
Sewajar dan selayaknya Ayah mengakan (bahwa) Sayang Ayah Tak Bertepi !
Pada hari ini (20 Nopember 2014) - 9 Tahun yang lalu (20 Nopember 2005), Ayah adalah orang pertama yang mengambil tubuhmu setelah keluar dari relung paling suci, rahim ibumu.

Sungguh nikmat terdalam, bila saya dan ibundanya bisa membesarkannya (bersama kakak dan adiknya), hingga mereka berumah tangga. Ya Tuhan Robbi Izzati, senantiasa ingatkan saya agar tak berbuat sesuatu yang membuatnya menanggung malu atau dipermalukan, bimbing saya dan juga ibunya supaya tak melakukan tindakan yang bisa menjadi beban dan tanggungannya disepanjang hidupnya. 

Bahagia melihat tumbuh kembangmu nak, dari waktu ke waktu. 



















Ibu Dita (pun) Menangis !!

Ditulis ulang : Imla Wifra Ilham, S.Ag
(c) Anakku Anak Berkarakter (cc : Muhammad Ilham Fadli/facebook) 

wonderfulstories.net
Suatu hari seorang ibu curhat mengenai anaknya yang dia anggap sangat cengeng dan sensitif. Sebut saja Dita namanya. Dia duduk di kelas 5 SD di sebuah sekolah swasta. Anak bungsu dari 3 bersaudara. Si Ibu geregetan sekali melihat anaknya yang terlihat terlalu ‘lemah’ ini. Si anak ini sangat sensitif dan mudah sekali menangis. Dia bingung bagaimana anaknya nanti menjalani kehidupan. Beda sekali dengan dua kakaknya yang kelihatan lebih tangguh. Si ibu ini bercerita panjang lebar tentang pengalamannya dulu dididik oleh orang tuanya dengan keras dan sangat disiplin, sehingga ia punya mental yang kuat dan bisa sukses di karirnya. Si Ibu inipun ingin menanamkan cara mendidik orangtuanya kepada anak-anaknya.  Setelah si ibu ini bercerita panjang lebar, kamipun bertanya “ Ibu boleh saya bertanya ? “anak ibu ini suka main sama anak-anak kecil nggak?” 

Si Ibu dengan muka agak sewot menjawab,  “Iya bu, justru itu yang membuat saya heran dan marah. Kok dia mainnya selalu sama anak-anak dibawahnya. Dia hampir tidak punya teman sebaya. Saya takut sekali dia nanti tidak dewasa-dewasa dan tambah cengeng“. Kami bertanya lebih lanjut,  “terus Dita ini suka sama binatang peliharaan ya?” Si ibu kembali menjawab, “iya bu, dia itu memang sangat penyayang sama binatang. Tapi kadang-kadang saya lihat suka kelewatan juga. Dia suka ngajak binatang peliharanya ngobrol, bahkan kadang suka dia bawa ke tempat tidurnya. Terus makanan yang harusnya untuk dia, malah dia kasih ke binatang peliharaannya. Saya kadang-kadang suka kesel lihat kelakuannya yang aneh-aneh“. 

Setelah menanyakan beberapa pertanyaan lebih lanjut, kami menyimpulkan bahwa Dita adalah anak yang luar biasa.  Kamipun langsung menyalami si ibu ini,  “Selamat ya bu, ibu punya anak yang luar biasa sekali. Kalau saya punya anak seperti Dita saya pasti akan sangat senang sekali”

"Loh kok gitu bu ?" “Ibu, percaya deh sama saya …… kalau nanti ibu sudah tua, saya yakin sekali Dita inilah satu-satunya anak ibu yang dengan sabar dan penuh kasih sayang mau merawat dan mengurusi kedua orang tuanya saat sakit-sakitan”.

Tiba-tiba si Ibu ini terdiam tidak mampu berkata apa-apa. Dia baru teringat saat Dita masih kecil, cuma ia anak yang selalu ingin memeluk & menciumi ibunya terus menerus. Namun Dita kini sudah berubah jadi anak yang diam dan tidak lagi hangat seperti dulu kepada ibunya. Perlahan-lahan air matanya pun mulai mengembang dan akhirnya si ibu tidak kuasa menahan tangisnya. Sesampai dirumah, si Ibu kemudian langsung memeluk dan menciumi Dita.

Ibu, Aku Tidak Mau Jadi Pahlawan !

Ditulis ulang : Imla Wifra Ilham, S.Ag (c) 
Anakku Anak Berkarakter (cc : Muhammad Ilham Fadli/facebook) 

Jika ia bisa sehat, jika ia bisa hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hatinya, (lalu) mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang berhati baik dan jujur ? 

www.sunvalleykids.ca
Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kenaikan kelas, anak perempuanku selalu mendapat ranking ke-23. Lambat laun ia dijuluki dengan panggilan nomor ini. Sebagai orangtua, kami merasa panggilan ini kurang enak didengar, namun anehnya anak kami tidak merasa keberatan dengan panggilan ini. Pada sebuah acara keluarga besar, kami berkumpul bersama di sebuah restoran. Topik pembicaraan semua orang adalah tentang jagoan mereka masing-masing. Anak-anak ditanya apa cita-cita mereka kalau sudah besar? Ada yang menjawab jadi dokter, pilot, arsitek bahkan presiden. Semua orangpun bertepuk tangan. Anak perempuan kami terlihat sangat sibuk membantu anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya. Didesak orang banyak, akhirnya dia menjawab, "Saat aku dewasa, cita-citaku yang pertama adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak menyanyi, menari lalu bermain-main". 

Demi menunjukkan kesopanan, semua orang tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan apa cita-citanya yang kedua. Diapun menjawab, “Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat bintang”. Semua sanak keluarga saling pandang tanpa tahu harus berkata apa. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali. Sepulangnya kami kembali ke rumah, suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami kelak hanya menjadi seorang guru TK? Anak kami sangat penurut, dia tidak lagi membaca komik, tidak lagi membuat origami, tidak lagi banyak bermain. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan terus tanpa henti. Sampai akhirnya tubuh kecilnya tidak bisa bertahan lagi terserang flu berat dan radang paru-paru. Akan tetapi hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau tertawa atau menangis, tetap saja rangking 23. Kami memang sangat sayang pada anak kami ini, namun kami sungguh tidak memahami akan nilai sekolahnya. 

Pada suatu minggu, teman-teman sekantor mengajak pergi rekreasi bersama. Semua orang membawa serta keluarga mereka. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa, ada anak yang bernyanyi, ada juga yang memperagakan kebolehannya. Anak kami tidak punya keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan sangat gembira. Dia sering kali lari ke belakang untuk mengawasi bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan yang terlihat sedikit miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap wadah sayuran yang meluap ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah tangga cilik. Ketika makan, ada satu kejadian tak terduga. Dua orang anak lelaki teman kami, satunya si jenius matematika, satunya lagi ahli bahasa Inggris berebut sebuah kue. Tiada seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau saling membaginya. Para orang tua membujuk mereka, namun tak berhasil. Terakhir anak kamilah yang berhasil melerainya dengan merayu mereka untuk berdamai. Ketika pulang, jalanan macet. Anak-anak mulai terlihat gelisah. Anakku membuat guyonan dan terus membuat orang-orang semobil tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan berbagai bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang mendapatkan guntingan kertas hewan shio-nya masing-masing. Mereka terlihat begitu gembira. 

Selepas ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau rangking sekolah anakku tetap 23. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang terjadi. Hal yang pertama kali ditemukannya selama lebih dari 30 tahun mengajar. Dalam ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu SIAPA TEMAN SEKELAS YANG PALING KAMU KAGUMI & APA ALASANNYA. Semua teman sekelasnya menuliskan nama : ANAKKU ..! Mereka bilang karena anakku sangat senang membantu orang, selalu memberi semangat, selalu menghibur, selalu enak diajak berteman, dan banyak lagi. Si wali kelas memberi pujian,  “Anak ibu ini kalau bertingkah laku terhadap orang, benar-benar nomor satu”. Saya bercanda pada anakku, “Suatu saat kamu akan jadi pahlawan”. Anakku yang sedang merajut selendang leher tiba-tiba menjawab “Bu guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang yang bertepuk tangan di tepi jalan.” “IBU, …..AKU TIDAK MAU JADI PAHLAWAN, …. AKU MAU JADI ORANG YANG BERTEPUK TANGAN DI TEPI JALAN.” 

Aku terkejut mendengarnya. Dalam hatiku pun terasa hangat seketika. Seketika hatiku tergugah oleh anak perempuanku. Di dunia ini banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi seorang pahlawan. Namun Anakku memilih untuk menjadi orang yang tidak terlihat. Seperti akar sebuah tanaman, tidak terlihat, tapi ialah yang mengokohkan. 

Jangan Tanya Aku Soal PR dan Ulangan Saja


(c) wajahbocah.com
Saat anak-anak kita lelah sepulang sekolah. Dengan beban materi pelajaran yang luar biasa berat. Dengan setumpuk PR dari guru untuk hampir semua mata pelajaran. Dengan standarisasi nilai yang harus mereka kejar agar tidak terancam remedial. Kita sebagai orang tua masih saja tampil dengan gaya komunikasi yang membosankan. Si Ibu bertanya, "besok ada PR apa? ......  Ayo ! cepat makannya, habis itu langsung kerjakan PRnya ya !. Sementara Si Ayah yang jarang sekali bercengkrama, bertanya, “kapan kamu ujian nak?... ..... Belajar yang rajin ya nak. Jangan sampai tidak naik kelas !".  Pernahkan kita berpikir, betapa membosankannya kita sebagai orang tua dimata anak-anak kita. Bagaimana mungkin mereka bisa akrab dan berkomunikasi terbuka, jika melihat kita saja mereka sudah bosan. Karena topik obrolan kita cuma itu-itu terus. Sang anak yang mulai tumbuh remaja dan mulai punya dunia lain. Mulai punya beban hidup. Mulai merasakan tekanan emosi dan lingkungan. Mulai merasakan tantangan-tantangan hidup. Mulai melihat dunia orang dewasa. Mereka ingin bertanya, ingin bercerita, ingin curhat. Tapi sama siapa?.  

Orang tua bukan tempat yang enak untuk bercerita. Anak-anak remaja perempuan kitapun akhirnya menemukan teman curhatnya.  Teman cowok sekelas yang mau mendengarkan curhat dan  keluh kesahnya. Ia pun merasa menemukan sandaran emosi yang mengerti dan memahaminya. Dan akhirnya teman cowok itulah yang diam-diam sekarang jadi pacarnya. Sampai akhirnya kita dibuat kaget luar biasa oleh apa yang mereka lakukan berdua. Anak remaja laki-laki kitapun mulai menemukan geng teman-teman senasibnya. Teman yang sama-sama tidak pernah didengarkan di rumah dan dianggap sebagai orang dewasa. Mereka pun bersama-sama mencari cara yang membuat mereka merasa sebagai orang dewasa. Menunjukkan eksistensi diri dengan cara-cara yang membuat kita geleng-geleng kepala. 

Ah ....… ini cerita kuno sejak dulu dan mungkin seterusnya orang tua akan seperti itu. Kecuali segelintir saja orangtua-orangtua yang setiap hari selalu rendah hati mendengar cerita anak-anaknya. Bukan cuma cerita PR dan nilai ulangan. Tapi mendengarkan imajinasi mereka, pengalaman-pengalaman mereka, keresahan mereka dan apa saja perasaan yang mereka rasakan. Para orangtua yang memahami kalau anak-anak mereka adalah manusia-manusia yang punya perasaan & emosi. Dan tidak selalu ingin ditanya PR dan nilai ulangan saja.

Sumber :
(c) Anakku Anak Berkarakter (cc : Muhammad Ilham Fadli/facebook)