Sabtu, 25 Februari 2012

Kisah Haru dari Jepang

Ditulis ulang : Imla W. Ilham, S.Ag

Di Jepang, dulu pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke hutan. Mereka yang dibuang adalah orang tua yang sudah tidak berdaya, sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya. Pada suatu hari, ada seorang pemuda yang berniat membuang ibunya ke hutan. Karena si Ibu telah lumpuh dan agak pikun. Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya, berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui. Sesampai didalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tsb dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya. Justru si Ibu yang tampak tegar. Dalam senyumnya, dia berkata, 'Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa, Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini, rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sdh menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat. Ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai di rumah".  

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras. Kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah. Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal. "Orangtua" bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan Susah, hanya 'orangtua' yang mengerti kita dan batinnya akan menderita jika kita susah. "Orangtua" kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita.


(c) Tulisan : Wall Nico V.V
(c) Foto : Wall Abdullah Awang

Iffa dan Malika "Bintang" Wisuda Ayah




























Tanggal 25 Februari 2012 : Saya Bangga dan Bahagia

Oleh : ImlaWifra Ilham, S.Ag

Alhamdulillah, pada hari ini, ayah Iffa dan Malika menambah gelar Magister-nya satu lagi dengan M.Hum. Menamatkan studi di Fakultas Pasca Sarjana  Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Andalas Padang dengan 3 semester dan IPK 4,00. Pada hari wisuda itu, sang abang yang MA & M.Hum ini, mengatakan pada Iffa yang bangga karena ayahnya jadi lulusan terbaik di Program Studinya dengan mengatakan : "ayah ingin memberikan kebanggaan pada Iffa dan Malika".















Selasa, 14 Februari 2012

Terkadang Nasionalisme Anak-Anak Lebih Tinggi Dibandingkan Orang Tua

Oleh : Imla Wifra Ilham

Dari catatan yang tertinggal pada tahun 2010 yang lalu !

Minggu, 16 Agustus 2010. Ketika pagi menjelang, sulungku Ifa baru siap mandi dan berpakaian. Ia sedang libur sekolah. Pagi itu, ia memulai kegiatan rutinnya bila sedang libur….. bersepeda (tepatnya belajar sepeda) di seputaran komplek bareng teman-temannya. Sedangkan saya mulai “mengolah pakaian kotor” di Mesin Cuci, sementara suami saya membersihkan pekarangan samping rumah (kebun tanaman obat). Kegiatan rutin liburan mulai bergeliat di rumah dan komplek perumahan kami. Beberapa saat kemudian, Ifa datang sambil sambil sedikit marah dan bertanya kepada saya : “Ibunda, kok rumah kita tidak dipasangin bendera merah putih?”. Mati Aku ! ………….. tak bisa saya jawab. Memang, suami saya lupa memasang bendera merah putih jelang 17 Agustusan, biasanya beliau tidak pernah lupa memasang bendera tersebut, apalagi ia ketua di komplek perumahan kami. Kebetulan, tadi malam saya bertanya pada suami tentang keberadaan bendera merah putih kami. Suami saya mengatakan bahwa bendera tersebut entah dimana diletakkannya. Memang ada usaha malam itu untuk mencari, tapi tak ketemu. Akhirnya, ia mengambil kesimpulan : “ya udaah, lihat besoklah, kalau ada waktu ….. ya kalau ada waktu, saya akan ke Pasar Raya, beli bendera merah putih baru lagi, memangnya nasionalisme ditentukan oleh bendera merah putih, buktinya, anggota DPR-RI waktu sidang Paripurna tanggal 15 Agustus 2010 yang lalu, lupa menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya jelang sidang dibuka”, katanya. Ia pandai berdebat dan berkelit, walaupun saya rasa itu hanyalah justifikasi karena ia malas pergi ke Pasar Raya membeli bendera. Kala itu saya diam dan ……………… ya udahlah kalau begitu.
Kembali ke Ifa. Saya diam sambil terus “mengocok pakaian kotor” di mesin cuci produk Jepang (yaa… produk Jepang karena produks Indonesia belum saya temui, setidaknya belum ada refrensi teman-teman ……….. padahal saya cinta produk dalam negeri …..wakakkakkkak wakkkaakkkak). “Ibunda, jawab Ifa, mengapa kita tak pasang bendera merah putih?”, tanya sulung saya yang baru duduk di Kelas 1 SD ini. Akhirnya saya defensif dan mulai menjawab, “Coba tanya sama ayah”. Ia pun berlalu menuju ayahnya yang sedang membersihkan kebun samping rumah, dan saya ikuti. Sebagaimana yang ditanyakan Ifa pada saya, pertanyaan tersebut diulanginya kembali pada ayahnya. Bagaimana reaksi suami saya ? …………. diam dan tersenyum. Ia tak bisa memberikan sebuah justifikasi sebagaimana yang diberikannya pada saya. “Malu Ifa, rumah teman-teman Ifa pakai bendera semua. Kata ibu guru Ifa di sekolah, kita harus mengibarkan bendera merah putih di rumah kita, tandanya kita sayang pada Indonesia”, katanya sambil “menghakimi” ayahnya yang tersenyum sambil garuk-garuk kepala. “Bendera Merah Putih kita hilang”, kata ayahnya. “Kenapa tak dibeli kemaren?”, tangkis Ifa. “Ntar, ayah beli”. “Sekarang aja, supaya bendera bisa dipasang cepat …….. malu Ifa, pokoknya ayah beli cepat”, ujar Ifa kembali sambil mau menangis. Ayahnya ……………. 15-0, kalah telak. “Ya Nak, ayah mandi dulu, baru ayah pergi beli bendera”. “Ndak usah mandi, lama nanti, sekarang aja”, kata Ifa. Suami saya memandangi saya sambil ingin meminta “perlindungan” agar menyakinkan Ifa, setidaknya untuk mandi saja dahulu. Saya tersenyum ………. dan mengatakan, “Ifa betul, tak perlu mandi”, sambil ketawa saya masuk lagi ke rumah.
Ya….. suami saya yang biasanya pintar merangkai kata-kata untuk meyakinkan orang dan suka berdebat, dan biasanya bisa meyakinkan anak-anaknya bahkan anak-anak kami terkesan “tak bisa berlantas angan” padanya. Suami saya menjadi “kartu truf” bagi saya bila Ifa atau Adek bertengkar dan sulit untuk dicegah, dan suami saya memiliki kemampuan antisipatif…… hickkks. Tapi pagi ini ia dikalahkan oleh sebuah “keluguan nasionalisme” dari sulungku, Ifa binti Ilham. Dan, ketika pagi jelang siang bendera mulai berkibar di depan rumah kami, Ifa-pun mulai tersenyum dan berkata pada ayahnya, “gitu dong” ……… dan ia kemudian main sepeda lagi sambil “memberitahukan” kepada teman-temannya bahwa ia dan ayahnya adalah “nasionalis sejati”.

Sumber Power Point : Koleksi Imla Wifra/11-2011

Pencil Art







Sumber : vivanews.com/imageonly

Senin, 06 Februari 2012