Rabu, 01 Februari 2012

Ketika Anak Bertanya : "Tuhan Dimana Bu?"

Ditulis ulang : Imla W. Ilham, S.Ag

Rasa ingin tahu adalah merupakan salah satu fitrah manusia. Artinya manusia terlahir dengan memiliki salah satu ciri khas fitrah tersebut. Rasa ingin tahu akan sekelilinganya dan segala sesuatu yang dilihatnya. Rasa ingin tahu tersebut akan mencapai puncaknya sewaktu masa kanak-kanak. Hal ini wajar dikarenakan rasa ingin tahu mereka akan hal-hal yang baru bagi mereka. Kadang orang tua merasa capek menghadapi pertanyaan yang dilontarkan anak-anak kepadanya. Sebaiknya dan hendaknya orang tua tidak memarahi ataupun melarang anaknya untuk bertanya, karena jika demikian sama artinya dengan membunuh potensi dan kreatifitas yang terdapat pada anak-anak yang harus terus dikembangkan. Anak-anak pada usia ini kadang-kadang menanyakan hal-hal yang tidak diduga oleh orang tuanya. Lantas apa yang harus dilakukan oleh orang tua ketika menghadapi berbagai pertanyaan anak-anaknya, apakah anak harus dimarahi ataukah memberikan jawaban asal-asalan kepadanya, ataukah dibiarkan saja begitu saja? Kalau kita merujuk akal pikiran kita maka ketiga langkah tersebut semuanya adalah salah. Kita biasa melihat sebagian orang tua yang ketika anak bertanya ia langsung berkata: “Huss, jangan banyak tanya, diam kamu!”.

Orang tua hendaknya berusaha menjawab pertanyaan anak dengan bahasa yang dipahami mereka. Sebagaimana yang dijelaskan dalam ilmu psikologi pada usia kanak-kanak mereka lebih cepat memahami hal-hal yang bersifat inderawi. Berdasarkan hal ini, ketika anak kami bertanya: “Mama Allah ada di mana?”, kami jawab: “Ada di mana-mana”. Ketika ia mendengar jawaban kami secara spontan ia bertanya kembali: “Berarti kalau gitu Tuhan itu banyak dong, khan katanya ada di mana-mana?!”, ujarnya dengan penuh percaya diri. Kembali saya menjawab: “Benar Tuhan ada di mana-mana, akan tetapi tetap satu”, jelas saya. Anak kami masih bingung ketika mendengar jawaban yang kami berikan kepadanya. Dan dari raut wajahnya masih terlihat rasa penasaran, ia masih berpikir bagaimana bisa, ‘ada di mana-mana tapi satu’. Sewaktu kami melihatnya dalam keadaan termenung dan masih belum puas dengan jawaban kami, dengan penuh kasih sayang dan dengan bahasa yang semudah mungkin kami kembali melontarkan pertanyaan; “Wahai putriku sayang, kamu tahu matahari ada berapa? “Ya, ada satu”, jawabnya. Kami kembali bertanya: “Apakah matahari hanya ada di tempat kamu saja, atau di tempat temanmu (yang ada di negara) lainpun ada? “Tidak, di tempat lain pun ada”. “Wahai putriku, tadi kamu katakan matahari itu hanya ada satu, tapi di manapun kamu berada iapun ada. Nah Tuhan pun seperti itu, satu tapi ada di mana-mana”.

Referensi : (c) islamfeminis.wordpress.com/judul diubahsuai

Tidak ada komentar: