Jumat, 19 Oktober 2012

Nasionalisme Minim

Oleh : Imla Wifra Ilham, S.Ag 

Bulan September tahun yang lalu, Alhamdulillah, ilmu dan pengalaman saya ditambah Allah kembali. Saya berkesempatan mengikuti Pelatihan/Pendidikan "Penguatan Kurikulum PAUD Nasional". Kegiatan yang berlangsung di Komplek Panorama Regency, Nagoya Batam Kepulauan Riau ini diikuti oleh utusan dari Pengelola/Kepala Sekolah PAUD Unggulan masing-masing propinsi di Indonesia. Saya tak ingin menjelaskan seluk beluk kegiatan dan materi-materi yang dipaparkan karena bagi saya, kegiatan semacam ini sangat mencerahkan, sebagaimana kegiatan-kegiatan sejenis yang pernah saya ikuti beberapa waktu lalu. Saya hanya ingin menceritakan pengalaman yang bagi saya sangat menarik sekaligus ironis. Seperi biasanya, setiap kegiatan, apakah itu seminar ataupun pelatihan/workshop apalagi tingkat nasional, maka acara pembukaan kegiatan tersebut dihadiri oleh pejabat-pejabat tingkat daerah dan nasional. Sambutan-sambutan silih berganti. Berjenjang, dari yang jabatannya rendah hingga tinggi. Demikian juga halnya dengan kegiatan yang saya ikuti ini.

Karena kegiatan ini dilaksanakan di Batam, Propinsi Kepulauan Riau, maka pasti ada sambutan resmi dari pejabat daerah yang berhubungan dengan pendidikan PAUD. Kebetulan pejabat daerah yang memberikan sambutan ini adalah berjenis kelamin "wanita", tepatnya ibu-ibu. Pada awalnya saya beranggapan, ibu kita yang cantik ini (saya tidak menyebut namanya atau inisialnya) akan memberikan sambutan mengenai harapannya tentang kegiatan yang dilaksanakan, atau memberikan gambaran tentang perkembangan PAUD di daerah Batam, atau mungkin minimal mendeskripsikan dengan bangga mengenai kemajuan daerah Batam di semua lini, khususnya ekonomi dan pariwisata. Tapi saya merasa terkejut, ibu kita yang cantik ini bukannya memberikan sambutan tentang hal-hal yang berhubungan dengan PAUD (kalau-pun ada, porsinya teramat minim), beliau justru banyak "menceritakan" tentang Singapura.  

"Ibu-ibu, kami di Pulau Batam ini, lebih suka berkunjung atau liburan ke Singapura. Cukup dengan Rp. 300.000,- ibu-ibu sudah bisa bolak-balik ke negeri singa tersebut, dan bla.....bla....bla", katanya panjang lebar dengan wajah sumringah.

Si Ibu ini dengan penuh kebanggaan mengkisahkan bahwa masyarakat Batam (mungkin beliau saja yang bangga) begitu bangga pergi ke Singapura daripada ke Jakarta atau ke lokasi-lokasi pariwisata di Batam. Alih-alih menceritakan tempat pariwisata di Batam, justru si ibu kita yang cantik ini justri "mensugesti" para pendengar untuk berpariwisata ke Singapura. Ironis !. Untunglah, ketika salah seorang pejabat PAUD dari pusat memberikan sambutan, pejabat yang juga wanita ini sedikit "menyindir" ibu kita yang cantik dan teramat bangga dengan Singapura tersebut. "Kita seharusnya menanamkan rasa nasionalisme dan rasa cinta tanah air kepada anak-anak sejak usia mereka masih dini. Bukan menanamkan kebanggaan terhadap negara lain pada diri mereka", kata ibu ini.

Kegiatan Parenting di PAUD Citra Al Madina Padang



SINGGALANG : PADANG — Keterlibatan orangtua dalam lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD), dinilai cukup urgen. Guna mewujudkan pembelajaran yang optimal di masa usia emas itu, tidak bisa sepenuhnya berharap pada lembaga sekolah saja, tapi kontribusi orangtua memiliki peran cukup penting. Pendapat tersebut dikemukakan Kepala PAUD Citra Al Madina, Padang, Imla Wifra Ilham, dalam perbincangan dengan Singgalang. Menurutnya, ke depan, penyelenggaraan pendidikan dengan memberdayakan orangtua (parenting education), merupakan sebuah solusi guna meningkatkan mutu pendidikan sejak usia dini. “Untuk itu, terkait kegiatan parenting dimaksud, PAUD Citra Al Madina telah dan akan melakukan sejumlah kegiatan,” ucap Imla. Dikatakannya, kegiatan yang telah dilakukan tersebut seperti keterlibatan orangtua dalam lomba alat permaian edukatif, terkait peringatan Hari Ibu beberapa waktu lalu. Kemudian juga ada dialog yang pesertanya orangtua dan guru mendatangkan narasumber berkompeten, yakni Dr. Dadan Suryana dari UNP, mengambil tema terkait peran orangtua dalam menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini. 

“Besok (hari ini—red), kita kembali mendatangkan nara sumber yakni Dr Yuliana, yang bakal membahas bagaimana menjadi orangtua yang cerdas guna mewujudkan anak berkualitas,” jelas Imla, didampingi Wakil Kepala Sekolah, Vivit Risnawati. Melalui dialog dan materi dari pihak berkompeten dimaksud, menurut Imla, diharapkan orangtua kian memahami tentang penting dan signifikannya pendidikan akan usia dini. Sebelumnya,  juga telah dilakukan kegiatan keluar berupa out bond naik kereta api dari Padang ke Pantai Gandoriah, Pariaman. Di Pariaman pun diadakan dialog dengan orangtua, bahkan adapula permainan berkreativitas dengan plastisin yang dilakukan orangtua bersama anak-anak. Disebutkan, sejumlah kegiatan perenting lainnya yang bakal dilaksanakan, di antaranya berupa parent’s day class, di mana keterlibatan orangtua mengajar di kelas anak mereka masing-masing. Lalu ada lagi, pembahasan seputar IQ, kunjungan lapangan dan membahas perkembangan kesehatan anak. “Intinya, melalui kegiatan parenting ini, semoga terjalin kerjasama yang harmonis antara orangtua dengan pendidik, guna meningkatkan mutu pembelajaran di lembaga PAUD itu sendiri,” jelas Imla Wifra. Seperti diketahui, PAUD Citra Al Madina yang beralamat di Jl. Purus I itu, selain Taman Kanak-kanak (TK), juga menyelenggarakan TPA dan Play Group.

Murid PAUD Citra Al Madina Outing ke Batalyon 133



PADANG – Guna mendekatkan berbagai hal menarik yang bernilai edukatif di luar kelas, puluhan murid Taman Kanak-kanak (TK) Citra Al Madina, Padang, melakukan kunjungan lapangan (outing) ke Batalyon Infantri 133/Yudha Sakti, baru-baru ini. “Ini merupakan satu cara mengenal lebih dekat profesi dan tugas seseorang atau lembaga, yang disinkronkan dalam pembelajaran tema pekerjaan,” kata Kepala PAUD Citra Al Madina, Imla Wifra Ilham, kepada Singgalang. Menurutnya, Batalyon yang terletak di Air Tawar itu, jelas dihuni para tentara, sebagai abdi negara. Makanya, kata Imla didampingi Wakil Kepala Vivit Risnawati, tak salah jika anak-anak sejak dini dikenalkan sosok tentara tersebut, yang juga bagian dari salah satu profesi pekerjaan yang diajarkan kepada anak-anak.

Sosok tentara yang selama ini dikenal “garang”, ternyata hal itu termentahkan saat anak-anak disambut dengan santun oleh aparat militer berbaju loreng itu. “Kita jelaskan pada anak-anak, bahwa tentara itu bukan untuk ditakuti. Tentara adalah sosok yang membela negara, mengayomi rakyat,” jelas Imla.  Alhasil, komunikasi yang dijalin saat anak-anak ke sana yang didampingi sejumlah aparat itu, dinilai cukup positif. Apalagi, murid TK yang terletak di Jl Purus I itu, pun diajak berkeliling-keliling untuk mengetahui berbagai hal.

(c) Singgalang

Sabtu, 13 Oktober 2012

Sorga Itu Dirumah

Ditulis ulang : Imla Wifra Ilham, S.Ag

(c) Lucia Coghetto - Open Art Group
Tawuran lagi. Di Jakarta pelajar SMU luka parah tersabet celurit. Sedang di Makasar, dua mahasiswa berkalang tanah. Jika Kiyosaki menyebut anaklah yang tahu dan pemilik masa depan, terus seperti apakah bangsa ini di era mendatang?. Makam Alawy Yusianto Putra belum kering. Juga kesedihan keluarga serta teman-teman sekolahnya di SMAN 6 Jakarta. Tawuran antara SMAN 6 dan SMAN 70 itu menyisakan renungan panjang. Apakah peristiwa itu masih bisa disebut sebagai kenakalan remaja?. Buntut tawuran itu juga belum selesai. Tersangka pelaku sedang diproses penyidik. Ada tersangka lain yang akan diamankan. Ini membuat was-was guru dan orang tua siswa di sekolah ini. Jangan-jangan anak-anak mereka yang sedang belajar tersangkut dan masuk bui. Sebab perilaku itu dikategorikan sebagai tindak kriminal murni.  Namun ketika kepedihan itu belum terhapus, tawuran terjadi lagi. Di Jakarta, jalanan dijadikan ajang perkelahian, seorang pelajar kritis tersabet celurit. Di Makasar kampus dibuat gelanggang adu fisik, diteruskan di rumah sakit mengakibatkan dua nyawa melayang. 

Kita mengurut dada atas musibah itu. Kita prihatin terhadap kejadian itu. Bela sungkawa sedalam-dalamnya layak diberikan pada generasi penerus yang mati sia-sia itu. Juga terhadap keluarga yang ditinggalkan, yang tidak terbayangkan betapa pedih hati mereka. Anak, secara spiritual, memang bukan milik kita. Itu titipan dari Tuhan. Dalam bahasa Kahlil Gibran, anak itu bak anak panah. Orang tua hanya merentang busur, mengarahkan pada yang diinginkan. Ketika anak panah lepas dari busur, di situlah takdir sedang berproses. Tepat seperti yang diinginkan orang tua, atau melenceng jauh dari sasaran. Dari kiasan ini bisa diambil hikmah. Jika orang tua semasa anaknya masih hidup telah memberi pengertian baik tentang makna hidup, syukurilah takdir itu. Jika semasa 'titipan Tuhan' itu belum 'diambil', orang tua yang bersangkutan belum memberikan pengertian yang layak tentang hidup, maka ini saatnya untuk menyadarkan para orang tua yang lain agar memberi bekal yang memadai bagi anak-anaknya. Zaman ini memang membuat orang tua dan anak-anak ada di persimpangan jalan. Kemajuan telah membuka segalanya, yang boleh dan tidak boleh. Anak dengan karakter bawaannya yang ingin tahu dan akhirnya serba tahu telah membawanya pada pengalaman-pengalaman baru dan pemahaman-pemahaman baru. Anak-anak kita menjadi lebih hebat dari orangtuanya.  Dalam bahasa lugas, T Kiyosaki pengarang 'Reach dad, poor dad' mengatakan, "jika ingin tahu masa depan, tanya anak-anakmu". 

Bahkan gurindam 'anak polah bopo kepradah' (anak bertingkah, bapak terkena tuahnya) pun sudah jauh-jauh hari di balik. Itu saking banyaknya orang tua yang tidak bisa memberi teladan baik bagi anak-anaknya. Korupsi di tempat kerja, tidak membuka pintu dialog, berfoya-foya dari rezeki yang tidak jelas, dan jauh dari memberi bekal etik agar menyemaikan kemanusiaannya sebagai manusia adalah contoh yang lama tidak diteladankan orang tua. Generasi kini yang brutal, adalah bagian dari hilangnya teladan itu. Anak-anak itu kurang bekal dari rumah, dari lingkungan, dan terlalu banyak mendapat bekal dari luar. Mereka tidak punya sensor untuk menyaring teladan dari dunia antah-berantah itu. Guru yang digugu dan ditiru berasal dari dunia maya. Menyikapi dunia yang sudah dikuasai teknologi itu, jalan yang terbaik adalah menciptakan surga di rumah. Dunia realis yang nyaman, tenang, dan teduh. Bukan dunia impian yang serba instan dan indah. Tanpa itu, maka anak-anak kehilangan pegangan. Kehilangan orang tua, keluarga, yang menyayangi dan mengayomi.

Sumber : detik.com/Djoko Suud - judul artikel : "Anak Polah Bapak Kepradah"

Jumat, 12 Oktober 2012

Salam Kreatif


Bahagia dan kreatif itu tak membutuhkan biaya besar dan tempat yang indah
Salam kreatif ... !!


African-Journal

Mainan favorit suami saya ketika masa kecil di kampung
(Main roda-roda) - "Anak-Anak di Pasaman, 1975"
Sumber foto : Tempo/6 Desember 1975 (koleksi Mhd. Ilham)

Senin, 01 Oktober 2012

Catatan Malam Minggu Ayah Iffa & Malika Ilham

# catatan malam minggu Ayah Iffa & Malika Ilham  


22.01 WIB
Di antara tujuh tingkat langit
dan tujuh lapis bumi
kalian-lah cahaya kedelapan kami

tidurlah nak
setelah sepenggal matahari terang, kalian bermain
setelah sepulang dari musholla, maghrib tadi,
 kita memandang bulat rembulan, 
sebulat wajah ibu kalian
tentu lelah tertunaikan dengan lelap lena malam ini


Koleksi Imla W. Ilham

Maafkan Orang Tuamu, Anakku. Kami Tak Begitu Mengenalmu ! (Catatan Ira Oemar : Sebuah Empati Buat Orang Tua))

Ditulis Ulang : Imla W. Ilham

Dari jaman ke jaman, selalu saja ada anak nakal, siswa bandel, biang keladi semua keributan. Itu wajar, namanya juga anak dan remaja. Ada yang sifatnya cenderung melawan, suka membantah, tak mau menurut. Makin menginjak remaja, sikap perlawanan itu makin menjadi. Sekali lagi, tugas guru-lah mengatasinya. Tiap guru punya cara sendiri menghadapi siswa yang sulit diatur. Ada yang sabar dan memilih cara halus untuk menghadapinya, ada yang memilih tak mempedulikan siswa yang bandel – paling-paling diberi nilai jelek untuk mata pelajaran yang diajarkannya, ada pula yang memilih menanganinya dengan cara kasar. Tapi sekali lagi, jarang sekali orang tua siswa tahun ’70 –‘80an yang menggugat guru. Tampaknya orang tua jaman dulu sadar konsekwensi logis dari mereka menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka kepada guru. Remaja jaman dulu tidak mendapatkan toleransi dan perlindungan – bahkan dari orang tuanya sendiri – ketika mereka melakukan kekerasan. Terkadang, bahkan ortu sendiri lah yang mengantara anaknya ke wali kelas, jika kedapatan berkelahi sepulang sekolah. Ortu meminta guru menghukum anak mereka. Lalu bagaimana dengan jaman sekarang? Guru tampaknya berada pada posisi sulit. Mereka tak bisa lagi mudah menjatuhkan hukuman pada siswanya. Salah-salah, siswa yang kena “setrap” mengadu pada ortunya, malah guru yang ganti diadukan ke polisi. Orang tua tahunya anak mereka baik-baik, tak ada hak guru untuk menghukumnya. Sementara, ketika terjadi tawuran antar pelajar sepulang sekolah, pertanyaan di berbagai media dialamatkan pada guru : dimana peran guru?

Di satu sisi orang tua seolah menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak mereka pada guru-guru di sekolah, namun di sisi lain, ketika ada masalah, anaknya berulah, orang tua tak mau guru mengambil tindakan. Orang tua turun tangan ketika sudah ada masalah, itupun bukan untuk meng-endorse pengegakan disiplin dan hukum sesuai aturan, tetapi justru untuk mengintervensi disiplin dan hukum, mengupayakan privilege bagi anak mereka. Akibatnya, sama sekali tak ada pembelajaran pada diri siswa. Anak tak belajar dari kesalahan yang dibuatnya. Anak gemar tawuran, anak suka keroyokan dan berperilaku anarkhis, tentu banyak faktor penyebabnya. Anak tak terbebani rasa salah alias cuek, tidak menyesal saat melakukan perbuatan salah bahkan menjurus ke kriminal, juga banyak aspek pemicunya. Sungguh tidak adil, jika tanggung jawab hanya dibebankan pada guru dan sekolah sebagai institusi. Kalau benar orang tua menyerahkan pendidikan anaknya pada guru dan sekolah, maka mereka juga harus rela jika guru menegakkan aturan pada semua siswa tanpa pandang bulu. Orang tua harus ikhlas anaknya menerima akibat hukum dari perbuatannya, termasuk jika tidak disiplin dan tidak berlaku sopan pada guru. Jangan ajari anak menginjak-injak hukum. Sebab kekacauan itu timbul karena lemahnya penegakan hukum.


Diedit dari : (c) Ira Oemar http://edukasi.kompasiana.com/2012/09/30/

Foto : Imla Wifra Ilham (Kepala PAUD Citra Al Madina Padang & Majelis Guru) ___________ sumber foto : http://paud-citramadina.blogspot.com/

Kehadiranmu Masih Ada




walaupun tak menetas
kehadiranmu masih ada
kuningmu masih berkilat
dan aku suka



sumber foto : facebook/muhammad ilham fadli