Kamis, 21 Oktober 2010

(Cerita untuk Anakku IFA dan MALIKA) : "Seorang Raja dan Nelayan"

Ditulis ulang : Imla W. Ilham, S.Ag

Kerajaan yang dialiri oleh sungai Tigris dan Euphrates pernah di perintah oleh seorang raja yang sangat gemar dan menyukai ikan. Suatu hari dia duduk bersama Sherem, sang Ratu, di taman istana yang berhadapan langsung dengan tepi sungai Tigris, yang pada saat itu terentang jajaran perahu yang indah; dan dengan pandangan yang penuh selidik pada perahu-perahu yang meluncur, dimana pada satu perahu duduk seorang nelayan yang mempunyai tangkapan ikan yang besar. Menyadari bahwa sang Raja mengamatinya, dan tahu bahwa sang Raja ini sangat menggemari ikan tertentu, nelayan tersebut memberi hormat pada sang Raja dan dengan ahlinya membawa perahunya ketepian, datang dan berlutut pada sang Raja dan memohon agar sang Raja mau menerima ikan tersebut sebagai hadiah. Sang Raja sangat senang dengan hal ini, dan memerintahkan agar sejumlah besar uang diberikan kepada nelayan tersebut.

Tetapi sebelum nelayan tersebut meninggalkan taman istana, Ratu berputar menghadap sang Raja dan berkata: "Kamu telah melakukan sesuatu yang bodoh." Sang Raja terkejut mendengar Ratu berkata demikian dan bertanya bagaimana bisa. Sang Ratu membalas: "Berita bahwa kamu memberikan sejumlah besar hadiah untuk hadiah yang begitu kecil akan cepat menyebar ke seluruh kerajaan dan akan dikenal sebagai hadiah nelayan. Semua nelayan yang mungkin berhasil menangkap ikan yang besar akan membawanya ke istana, dan apabila mereka tidak dibayar sebesar nelayan yang pertama, mereka akan pergi dengan rasa tidak puas, dan dengan diam-diam akan berbicara jelek tentang kamu diantara teman-temannya. "Kamu berkata benar, dan ini membuka mata saya," kata sang Raja, "tetapi tidakkah kamu melihat apa artinya menjadi Raja, apabila untuk alasan tersebut dia menarik kembali hadiah yang telah diberikan?" Kemudian setelah merasa bahwa sang Ratu siap untuk membantah hal itu, dia membalikkan badan dengan marah dan berkata "Hal ini sudah selesai dan tidak usah dibicarakan lagi."

Bagaimanapun juga, dihari berikutnya, ketika pikiran sang Raja sedang senang, Ratu menghampirinya dan berkata bahwa jika dengan alasan itu sang Raja tidak dapat menarik kembali hadiah yang telah diberikan, dia sendiri yang akan mengaturnya. "Kamu harus memanggil nelayan itu kembali," katanya, "dan kemudian tanyakan, 'Apakah ikan ini jantan atau betina?' Jika dia berkata jantan, lalu kamu katankan bahwa yang kamu inginkan adalah ikan betina, tetapi bila nelayan tersebut berkata bahwa ikan tersebut betina, kamu akan membalasnya dengan mengatakan bahwa kamu menginginkan ikan jantan. Dengan cara ini hal tersebut dapat kita sesuaikan dengan baik."

Raja berpendapat bahwa ini adalah jalan yang terbaik untuk keluar dari kesulitan, dan memerintahkan agar nelayan tadi dibawa ke hadapannya. Ketika nelayan tersebut, yang ternyata adalah orang yang sangat pandai, berlutut di hadapan raja, sang Raja berkata kepadanya: "Hai nelayan, katakan padaku, ikan yang kamu bawa kemarin adalah jantan atau betina?" Nelayan tersebut menjawab, "Ikan tersebut bukan jantan dan bukan betina." Saat itu sang Raja tersenyum mendengar jawaban yang sangat cerdik, dan untuk menambah kejengkelan sang Rau, memerintahkan bendahara istana untuk memberikan sejumlah uang yang lebih banyak kepada nelayan tersebut. Kemudian nelayan itu menyimpan uang tersebut dalam kantong kulitnya, berterima kasih kepada Raja, dan memanggul kantong tersebut diatas bahunya, bergegas pergi, tetapi tidak lama kemudian, dia menyadari bahwa dia telah menjatuhkan satu koin kecil. Dengan menaruh kantong tersebut kembali ke tanah, dia membungkuk dan memungut koin itu dan kembali melanjutkan perjalanannya, diikuti dengan pandangan mata Raja dan Ratu yang mengawasi semua tindakannya.

"Lihat! betapa pelitnya dia!" kata Sherem, sang Ratu, dengan bangga atas kemenangannya. "Dia benar-benar menurunkan kantong nya hanya untuk memungut satu buah koin kecil karena mungkin dia akan sangat merasa kehilangan hanya dengan berpikir bahwa koin tersebut akan diambil oleh salah seorang pelayan Raja, atau seseorang yang lebih miskin, yang membutuhkannya untuk membeli sebuah roti dan yang memohon agar raja dikaruniai umur panjang." "Sekali lagi kamu berbicara benar," balas sang Raja, merasakan kebenaran dari komentar Ratu; dan sekali lagi nelayan tersebut dibawa untuk menghadap ke istana. "Apakah kamu ini manusia atau binatang buas?" Raja bertanya kepadanya. "Walaupun kamu mungkin sudah kaya tanpa harus bekerja keras lagi, tetapi sifat pelit dalam dirimu tidak membiarkan kamu untuk meninggalkan satu koin kecil untuk orang lain." Lalu sang Raja memerintahkan nelayan tersebut untuk pergi dan tidak menampakkan lagi wajahnya di dalam kota kerajaannya.

Saat itu nelayan tersebut berlutut pada kedua kakinya dan menangis: "Dengarkanlah hamba, Oh sang Raja, pelindung rakyat miskin! Semoga Tuhan memberkahi Tuanku dengan umur panjang. Bukan nilai dari koin tersebut yang hamba pungut, tetapi karena pada satu sisi koin tersebut tertera tulisan pujian atas nama Tuhan, dan disisi lainnya tergambar wajah Raja. Hamba takut bahwa seseorang, mungkin dengan tidak sengaja karena tidak melihat koin tersebut, akan menginjaknya. Biarlah sang Raja yang menentukan apakah yang saya lakukan ini pantas untuk dicela atau tidak. Jawaban tersebut membuat sang Raja sangat senang tidak terhingga, dan memberikan lagi nelayan terseut sejumlah besar uang. Dan kemarahan Ratu saat itu juga menjadi reda, dan dia menjadi sadar dan melihat dengan ramah terhadap nelayan tersebut yang pergi dengan kantung yang dimuati dengan uang.

Sumber : http://www.ceritakecil.com/cerita-dan-dongeng/Seorang-Raja-dan-Nelayan

Jumat, 01 Oktober 2010

Syair Cinta Rabi'ah al-Adawiyah

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Seandainya surga dan neraka tak pernah ada/Apakah engkau masih bersujud menyembah-Nya?

Sang ratu Cinta lahir dalam kemiskinan yang sangat. Tak ada kain untuk menyelimuti dirinya, Tak ada minyak setetespun untuk pemoles pusarnya. Tak ada lampu untuk menerangi kelahirannya. Ia adalah putri ke empat, maka disebutlah Robi’ah.

Membaca syairnya, seakan membaca kabar buruk dari surga; sesuatu yang begitu diidamkan tiap umat beragama. Dalam beberapa syairnya kita seakan menangkap bahwa surga tak layak buat manusia yang beribadah sementara masih menyembunyikan api dalam hati. Surga cuma buat mereka yang mengagungkan cinta dan kasih sayang. Ia lahir dan hidup di Basrah Irak sekitar tahun 713 M ketika dinasti Umayyah berkausa di seluruh Jazirah Arab, dan penjara di Basrah belum dijaga oleh tentara Amerika tentu saja. Ia lahir dari keluarga yang sama sekali tidak mapan. Dan ketakmapanan itulah yang kemudian membuatnya jadi budak selama bertahun-tahun. Setelah bebas, ia menekuni musik. Maka jadilah ia pemusik yang mendendangkan lagu-lagu. Ia cukup dikenal pada masa itu. Lalu, tak berapa lama ketika itu musik dianggap subhat oleh beberapa mullah, ulama sana. Sesuatu yang subhat dekat dengan haram. Ia, sebagaimana musik, dikecam. Kehidupan beragama sepertinya tak pernah lepas dari kecaman. Karena merasa dunia sekelilingnya penuh dengan ''kecaman'', ia pun mulai mencari cinta Tuhan. Tak hanya dalam musik musik, bahkan dalam pertapaannya.

Ia Rabiah al Adawiyah, perempuan yang kemudian dianggap sebagai figur dalam sastra sufistik Persia dan kerap dipertentangkan. Bahkan hingga saat ini. Sajaknya, atau tepatnya syair, umumnya hanya diperuntukkan untuk sang Tuhan yang bagi Rabiah adalah kekasih. Ia, tentunya, memilih alur lain untuk menemukan Tuhan. Alur yang tak sama. Beberapa kisah hidup Rabi'ah dibukukan, berbarengan dengan syairnya. Al kisah, suatu hari ia membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Seseorang bertanya : "Kemana engkau akan pergi Rabi'ah? Ia menjawab: Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka/Agar semuanya tak menjadi sebab manusia Menyembah-Nya/Sekiranya Allah tak menjadikan pahala dan siksa/Masih adakah di antara mereka yang menyembah-Nya? Syair-syair Rabiah, seakan menyentakkan kita kembali bahwa agama (Islam) lahir dan hadir di muka bumi ini bukan karena kedua hal itu: surga ataukah neraka. Tetapi atas nama cinta, setidaknya begitu kata Rabi'ah. Sebagai cinta, ia menjadi kebaikan untuk sekelilingnya. Sebagaimana bahasa Quran: rahmat bagi sekalian alam. Saat sekarang, ketika iman seakan jadi ancaman di tengah kita untuk membuat garis batas antara beriman dan kafir, kita seakan dibutuhkan untuk membaca syair Rabi'ah.

Mereka yang tidak menemukan cinta dalam beragama adalah mereka yang hanya menemukan api dalam iman. Sedemikian buta kah cinta? Sedemikian angker kah Tuhan? ..... Alangkah buruknya, Orang yang menyembah Allah hanya karena mengharap surga/Dan ingin diselamatkan dari api neraka/Seandainya surga dan neraka tak pernah ada/Apakah engkau masih bersujud menyembah-Nya?

Neraka, api yang bergejolak dan membakar, ataukah api dalam diri? Api amarah yang membakar siapa sajaĆ¢€”beriman atau tidak. Bukankah setiap kali kita marah sebetulnya kita telah hidup dalam neraka, neraka bagi diri kita sendiri? ............. Aku mengabdi pada tuhan bukan karena takut neraka/Bukan pula karena mengharap surga/Tetapi aku mengabdi karena cintaku padanya/Jika aku menyembahmu/Karena takut pada nerakamu bakarlah aku di dalamnya/Dan jika aku menyembahmu karena mengharapkan surga/Jauhkan aku darinya/Tuhanku, tenggelamkan aku dalam lautan cintamu/

Memang, beragama atas nama cinta adalah suatu bentuk beragama yang ideal. Seorang yang menemukan cinta Tuhan akan punya belas kasihan yang lebih (?). Sementara manusia yang tamak akan surga, seakan surga begitu sempit untuk manusia.

:: dikutip bebas dari FB Muhammad Ilham dari Fatris Mohammad Faiz