Jumat, 01 Oktober 2010

Syair Cinta Rabi'ah al-Adawiyah

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Seandainya surga dan neraka tak pernah ada/Apakah engkau masih bersujud menyembah-Nya?

Sang ratu Cinta lahir dalam kemiskinan yang sangat. Tak ada kain untuk menyelimuti dirinya, Tak ada minyak setetespun untuk pemoles pusarnya. Tak ada lampu untuk menerangi kelahirannya. Ia adalah putri ke empat, maka disebutlah Robi’ah.

Membaca syairnya, seakan membaca kabar buruk dari surga; sesuatu yang begitu diidamkan tiap umat beragama. Dalam beberapa syairnya kita seakan menangkap bahwa surga tak layak buat manusia yang beribadah sementara masih menyembunyikan api dalam hati. Surga cuma buat mereka yang mengagungkan cinta dan kasih sayang. Ia lahir dan hidup di Basrah Irak sekitar tahun 713 M ketika dinasti Umayyah berkausa di seluruh Jazirah Arab, dan penjara di Basrah belum dijaga oleh tentara Amerika tentu saja. Ia lahir dari keluarga yang sama sekali tidak mapan. Dan ketakmapanan itulah yang kemudian membuatnya jadi budak selama bertahun-tahun. Setelah bebas, ia menekuni musik. Maka jadilah ia pemusik yang mendendangkan lagu-lagu. Ia cukup dikenal pada masa itu. Lalu, tak berapa lama ketika itu musik dianggap subhat oleh beberapa mullah, ulama sana. Sesuatu yang subhat dekat dengan haram. Ia, sebagaimana musik, dikecam. Kehidupan beragama sepertinya tak pernah lepas dari kecaman. Karena merasa dunia sekelilingnya penuh dengan ''kecaman'', ia pun mulai mencari cinta Tuhan. Tak hanya dalam musik musik, bahkan dalam pertapaannya.

Ia Rabiah al Adawiyah, perempuan yang kemudian dianggap sebagai figur dalam sastra sufistik Persia dan kerap dipertentangkan. Bahkan hingga saat ini. Sajaknya, atau tepatnya syair, umumnya hanya diperuntukkan untuk sang Tuhan yang bagi Rabiah adalah kekasih. Ia, tentunya, memilih alur lain untuk menemukan Tuhan. Alur yang tak sama. Beberapa kisah hidup Rabi'ah dibukukan, berbarengan dengan syairnya. Al kisah, suatu hari ia membawa air di tangan kiri dan obor di tangan kanan. Seseorang bertanya : "Kemana engkau akan pergi Rabi'ah? Ia menjawab: Saya mau ke langit untuk membakar surga dan memadamkan api neraka/Agar semuanya tak menjadi sebab manusia Menyembah-Nya/Sekiranya Allah tak menjadikan pahala dan siksa/Masih adakah di antara mereka yang menyembah-Nya? Syair-syair Rabiah, seakan menyentakkan kita kembali bahwa agama (Islam) lahir dan hadir di muka bumi ini bukan karena kedua hal itu: surga ataukah neraka. Tetapi atas nama cinta, setidaknya begitu kata Rabi'ah. Sebagai cinta, ia menjadi kebaikan untuk sekelilingnya. Sebagaimana bahasa Quran: rahmat bagi sekalian alam. Saat sekarang, ketika iman seakan jadi ancaman di tengah kita untuk membuat garis batas antara beriman dan kafir, kita seakan dibutuhkan untuk membaca syair Rabi'ah.

Mereka yang tidak menemukan cinta dalam beragama adalah mereka yang hanya menemukan api dalam iman. Sedemikian buta kah cinta? Sedemikian angker kah Tuhan? ..... Alangkah buruknya, Orang yang menyembah Allah hanya karena mengharap surga/Dan ingin diselamatkan dari api neraka/Seandainya surga dan neraka tak pernah ada/Apakah engkau masih bersujud menyembah-Nya?

Neraka, api yang bergejolak dan membakar, ataukah api dalam diri? Api amarah yang membakar siapa sajaĆ¢€”beriman atau tidak. Bukankah setiap kali kita marah sebetulnya kita telah hidup dalam neraka, neraka bagi diri kita sendiri? ............. Aku mengabdi pada tuhan bukan karena takut neraka/Bukan pula karena mengharap surga/Tetapi aku mengabdi karena cintaku padanya/Jika aku menyembahmu/Karena takut pada nerakamu bakarlah aku di dalamnya/Dan jika aku menyembahmu karena mengharapkan surga/Jauhkan aku darinya/Tuhanku, tenggelamkan aku dalam lautan cintamu/

Memang, beragama atas nama cinta adalah suatu bentuk beragama yang ideal. Seorang yang menemukan cinta Tuhan akan punya belas kasihan yang lebih (?). Sementara manusia yang tamak akan surga, seakan surga begitu sempit untuk manusia.

:: dikutip bebas dari FB Muhammad Ilham dari Fatris Mohammad Faiz

Tidak ada komentar: