Kamis, 20 Agustus 2009

Keluguan Politik Ilham "Kecil"

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag


Cerita ini merupakan "cerita lama" yang luput saya posting, tentang kelucuan dan keluguan suami saya waktu ia masih kecil ketika berhadapan dengan pejabat daerah. Ceritanya begini : ........... Kala itu, sekitar tahun 1982. Di kampung halaman kami, Air Bangis (saya dan suami satu kampung)., kedatangan Gubernur. Tahun 1980-an, Air Bangis merupakan daerah yang hampir terisolir di pantai barat Sumatera Barat. Daerah pantai yang berjarak hampir 315 km dari Kota Padang. Daerahnya indah, berbentuk teluk yang dikelilingi oleh sembilan buah pulau dan merupakan daerah transisi kultural (antara etnik Minangkabau dengan Mandahiling, karena Air Bangis berbatasan langsung dengan Kabupaten Mandahiling Natal lewat laut). Air Bangis juga dikenal sebagai daerah historis-kaya sejarah karena di daerah ini merupakan salah satu daerah "perang" Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Tambusai dan Tuanku Rao (bahkan Tuanku Rao ditenggelamkan oleh kolonial Belanda di pantai Air Bangis....... sehingga di Air Bangis ada nama gugusan karang yaitu karang Tuanku Rao). Tahun 1982 tersebut, kedatangan pejabat-pejabat dari daerah (baik Kabupaten maupun Propinsi) menjadi sesuatu yang dianggap "mukjizat". Tahun 1982 itu, Air Bangis didatangi oleh Bpk. Ir. Azwar Anas (ketika menjadi Gubernur Sumatera Barat). Kedatangannya disambut dengan riuh rendah a-la masyarakat "hampir terisolir" Air Bangis. Apalagi kedatangannya dengan menggunakan helikopter yang membuat masyarakat Air Bangis jadi histeria ............. maklum melihat pesawat terbang yang "lalu" saja diatas udara Air Bangis bisa membuat masyarakat Air Bangis kala itu jadi histeris, apalagi ada helikopter yang mendarat ............. dijamin "mak nyoooss".

Kata suami saya, kala itu ia berusia 8 tahun (kelas 2 SD). Kata suami saya lagi, kala itu suasana sedang "sedikit panas", maklum jelang Pemilu 1982. And .... Kata suami saya lagi, waktu itu ia disuruh oleh guru-gurunya memakai pakaian seragam "ala kadarnya" bersama dengan teman-temannya untuk menyambut kedatangan "wong gedong" tersebut. Ketika helikopter mendarat di lapangan hijau Air Bangis, Gubernur dan Rombongan kemudian diarak ke Gedung Pertemuan Nagari. Masyarakat Air Bangis, kala itu, yang berjubel menyambut kedatangan Gubernur tersebut, "terpecah dua", sebagian mengiringi Guberenur yang diarak ke Gedung Pertemuan Nagari, sebagian lagi "menonton helikopter". Singkat cerita, ketika Gubernur sampai ke Gedung Pertemuan Nagari, setelah melalui acara "tetek bengek", sampailah pada acara sambutan resmi dari Bpk. Ir. Azwar Anas yang kala itu sangat gagah. Dalam pidatonya, lebih banyak bernuansakan kampanye (maklum suasana pemilu 1982) - tepatnya mengkampanyekan Golkar -- dibandingkan dengan arahan yang bersifat mencerahkan. Nah .... ditengah-tengah pidatonya, Gubernur meminta seorang anak untuk maju ke depan. Anak yang maju ke depan tersebut adalah anak yang duduk-mencangkung di barisan depan, yang mungkin dianggap oleh Gubernur serius mendengar pidatonya. Padahal, anak tersebut hanyalah melongo mendengar pidato yang isinya "hampir tidak bisa dipahaminya". Dengan langkah pasti nan tegap, walaupun tubuhnya pendek, si anak yang memakai pakaian pramuka "ala kadarnya" serta menggunakan sepatu bot-putih anti air buatan Cina yang dibeli pada Tekong Cina bernama Kiat di Kampung Cina Air Bangis, melangkah menuju tempat sang Gubernur pidato. Si anak tersebut .............. ya, ia suami saya. Kemudian, terjadilah komentar singkat :

Gubernur : Siapa nama kamu ?
Si Anak : Muhammad Ilham, pak Gubernur
Gubernur : Apa cita-cita kamu
Si Anak : Jadi Gubernur, pak Gubernur
Gubernur : wah ............ bagus itu. Apa pekerjaan ayahmu ?
Si Anak : Ayah saya tukang jahit, ibu saya jualan ketupat (jawaban yang komplit)
Gubernur : Bisa baca Pancasila?
Si Anak : Bisa, pak Gubernur
Gubernur : Coba baca !
Si Anak : Pancasila ............ Satu (mulai membaca) dan seterusnya
(Setelah si anak ini selesai membaca Pancasila........... Gubernur kemudian menyuruh si anak untuk mengikuti kata-katanya dengan pekikan yang lantang)
Gubernur : Hidup Golkaaaaaaaaaaaaaar !!!!!!!!!
Si Anak : ?????????? (ia diam)
Gubernur : Ayo, kenapa diam ?
Si Anak : Saya dan ayah saya memilih PPP pak Gubernur, bukan Golkar
Gubernur : .......................... @Gubernur : .......................... @$&$@!# !!!!!!!!!!!!!
amp;$@!# !!!!!!!!!!!!!

(Besoknya, suami saya dimarahi oleh guru-guru SD-nya, tetapi mertua saya bangga .... buktinya ia langsung membelikannya sepatu bot putih anti air yang baru dari tekong Cina bernama Liem She Kiat @ Kiat di Kampung Cina Air Bangis ............. konon dibayar tidak kontan alias kredit). Selanjutnya ......... suami saya tetap tidak pusing dengan kemarahan guru-guru SD-nya. Ia tetap menganggap dialog singkatnya dengan Gubernur tersebut memberikan keberkahan baginya, sepatu bot putih anti air yang sejak ia masuk SD belum pernah diganti oleh ayahnya, justru diganti dengan yang baru. Dan konon, foto-nya waktu dialog dengan Gubernur tersebut, sampai hari ini tetap dipajang oleh kakaknya di Air Bangis, walaupun telah lusuh. Nama fotografernya masih diingat oleh suami saya, Ruslin Sutan Batuah @ Sulin. Ia teman akrab mertua saya. Konon, "insiden" dialog tersebut membuat Ruslin Sutan Batuah "ketawa senang", buktinya mertua saya tidak harus membayar untuk menebus foto "bersejarah" itu, padahal Ruslin yang bergelar Sutan Batuah tersebut butuh waktu 3 hari ke Padang ..... hanya untuk mencucikan foto ini, 3 buah ...... 1 untuk mertua saya, 1 lagi untuk SD tempat suami saya sekolah dan 1 lagi untuknya.

Insert : Foto "Ilham Kecil" saat dialog dengan Gubernur Sumbar (Tahun 1982) Ir. H. Azwar Anas

Minggu, 16 Agustus 2009

Terkadang Nasionalisme Anak-Anak Jauh Lebih Tinggi Dibandingkan Kita

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag (Kepala PAUD Citra Al Madina Padang)

Minggu, 16 Agustus 2009. Ketika pagi menjelang, sulungku Ifa baru siap mandi dan berpakaian. Ia sedang libur sekolah. Pagi itu, ia memulai kegiatan rutinnya bila sedang libur..... bersepeda (tepatnya belajar sepeda) di seputaran komplek bareng teman-temannya. Sedangkan saya mulai "mengolah pakaian kotor" di Mesin Cuci, sementara suami saya membersihkan pekarangan samping rumah (kebun tanaman obat). Kegiatan rutin liburan mulai bergeliat di rumah dan komplek perumahan kami. Beberapa saat kemudian, Ifa datang sambil sambil sedikit marah dan bertanya kepada saya : "Ibunda, kok rumah kita tidak dipasangin bendera merah putih?". Mati Aku ! .............. tak bisa saya jawab. Memang, suami saya lupa memasang bendera merah putih jelang 17 Agustusan, biasanya beliau tidak pernah lupa memasang bendera tersebut, apalagi ia ketua di komplek perumahan kami. Kebetulan, tadi malam saya bertanya pada suami tentang keberadaan bendera merah putih kami. Suami saya mengatakan bahwa bendera tersebut entah dimana diletakkannya. Memang ada usaha malam itu untuk mencari, tapi tak ketemu. Akhirnya, ia mengambil kesimpulan : "ya udaah, lihat besoklah, kalau ada waktu ..... ya kalau ada waktu, saya akan ke Pasar Raya, beli bendera merah putih baru lagi, memangnya nasionalisme ditentukan oleh bendera merah putih, buktinya, anggota DPR-RI waktu sidang Paripurna tanggal 15 Agustus 2009 yang lalu, lupa menyanyikan lagu Kebangsaan Indonesia Raya jelang sidang dibuka", katanya. Ia pandai berdebat dan berkelit, walaupun saya rasa itu hanyalah justifikasi karena ia malas pergi ke Pasar Raya membeli bendera. Kala itu saya diam dan .................. ya udahlah kalau begitu.

Kembali ke Ifa. Saya diam sambil terus "mengocok pakaian kotor" di mesin cuci produk Jepang (yaa... produk Jepang karena produks Indonesia belum saya temui, setidaknya belum ada refrensi teman-teman ........... padahal saya cinta produk dalam negeri .....wakakkakkkak wakkkaakkkak). "Ibunda, jawab Ifa, mengapa kita tak pasang bendera merah putih?", tanya sulung saya yang baru duduk di Kelas 1 SD ini. Akhirnya saya defensif dan mulai menjawab, "Coba tanya sama ayah". Ia pun berlalu menuju ayahnya yang sedang membersihkan kebun samping rumah, dan saya ikuti. Sebagaimana yang ditanyakan Ifa pada saya, pertanyaan tersebut diulanginya kembali pada ayahnya. Bagaimana reaksi suami saya ? ............. diam dan tersenyum. Ia tak bisa memberikan sebuah justifikasi sebagaimana yang diberikannya pada saya. "Malu Ifa, rumah teman-teman Ifa pakai bendera semua. Kata ibu guru Ifa di sekolah, kita harus mengibarkan bendera merah putih di rumah kita, tandanya kita sayang pada Indonesia", katanya sambil "menghakimi" ayahnya yang tersenyum sambil garuk-garuk kepala. "Bendera Merah Putih kita hilang", kata ayahnya. "Kenapa tak dibeli kemaren?", tangkis Ifa. "Ntar, ayah beli". "Sekarang aja, supaya bendera bisa dipasang cepat ........ malu Ifa, pokoknya ayah beli cepat", ujar Ifa kembali sambil mau menangis. Ayahnya ................ 15-0, kalah telak. "Ya Nak, ayah mandi dulu, baru ayah pergi beli bendera". "Ndak usah mandi, lama nanti, sekarang aja", kata Ifa. Suami saya memandangi saya sambil ingin meminta "perlindungan" agar menyakinkan Ifa, setidaknya untuk mandi saja dahulu. Saya tersenyum .......... dan mengatakan, "Ifa betul, tak perlu mandi", sambil ketawa saya masuk lagi ke rumah.

Ya..... suami saya yang biasanya pintar merangkai kata-kata untuk meyakinkan orang dan suka berdebat, dan biasanya bisa meyakinkan anak-anaknya bahkan anak-anak kami terkesan "tak bisa berlantas angan" padanya. Suami saya menjadi "kartu truf" bagi saya bila Ifa atau Adek bertengkar dan sulit untuk dicegah, dan suami saya memiliki kemampuan antisipatif...... hickkks. Tapi pagi ini ia dikalahkan oleh sebuah "keluguan nasionalisme" dari sulungku, Ifa binti Ilham. Dan, ketika pagi jelang siang bendera mulai berkibar di depan rumah kami, Ifa-pun mulai tersenyum dan berkata pada ayahnya, "gitu dong" ......... dan ia kemudian main sepeda lagi sambil "memberitahukan" kepada teman-temannya bahwa ia dan ayahnya adalah "nasionalis sejati". DIRGAHAYU KEMERDEKAAN INDONESIA.

Sabtu, 15 Agustus 2009

Semoga Negara Tak Melupakan Anak-Anak "Mereka"

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Saya masih ingat, malam itu beberapa hari yang lalu dikala kota Padang diguyur hujan nan lebat, sekitar Jam 11 malam, saya bersama suami menonton TVOne. Berdua. Serius sambil makan kerupuk kentang yang sorenya saya buat. Anak-anak saya, Ifa dan Adek sudah tidur. Mereka nampaknya memberikan waktu bagi kami berdua untuk sekedar menonton TV dengan acara yang agak "serius". Entah kenapa, saya mulai asyik dan respek terhadap berita teroris. Suatu hal yang selama ini tidak ingin saya tonton, apatah lagi menyukainya. Diantara rentetan silih berganti, sambung menyambung dan berulang-ulang, berita tentang "Mengejar Teroris" a-la TVOne tersebut, ada satu tayangan yang membuat mata saya sabak-berair, ketika Suci Hani menaburkan bunga di pusara sang suaminya .... Ibrohim @ a'am @ boim ...... si kreator bom J.W. Marrit dan Ritz Carlton, 17 Juli 2009 yang lalu. Sabak mata saya bukan simpati pada Ibrohim ataupun Nurdin M. Thop dan anak cucu ideologinya. Untuk kasus ini, saya sudah diajarkan oleh suami sebuah parameter baku : "Islam itu Rahmatan lil 'Alamin ..... rahmat bagi seluruh alam". Dan saya agak "bodoh" untuk urusan wacana Islam Radikal ini dengan seluruh istilahnya. Bagi saya, kegiatan-kegiatan Thopian (ideologi Nordin M. Thop, kalau boleh saya mengistilahkanya dengan ini) di Indonesia belakangan ini, justru menggambarkan bahwa mereka telah mencederai keagungan Islam sebagai agama Rahmatan lil 'Alamin. Sabak mata saya ketika melihat seorang istri, pada malam hari ditengah-tengah pressure sosial dan sorot kamera bak "mata dewa medusa" menaburkan bunga di pusara suaminya, yang beberapa hari lalu tewas ditembak Tim Densus 88 Anti Teror di Desa Beji Temanggung, yang siangnya dikuburkan tanpa kehadiran keluarga, yang suaminya ditolak dikuburkan oleh warga kampungnya, yang anak-anaknya terus menanyakan keberadaan ayahnya, yang mungkin air matanya sudah tak bisa mengalir lagi secara alamiah. Ya.... saya tak bisa merasakan bagaimana pedih-perihnya hati seorang Suci Hani, istri Ibrohim@A'am@Boim.

Saya tak bisa bayangkan, bagaimana perkembangan psikologis anak-anak mereka. Saya tak bisa bayangkan, bagaimana sisa amunisi "kekuatan psikologis" yang harus dimiliki oleh wanita bernama Suci Hani ini untuk melangkah ke depan membimbing tangan-tangan mungil anak-anaknya. Sambil menghapus air mata, saya menoleh kepada suami saya yang diam-hening membisu kala itu, dan mulai berkata, "Ya Allah Rabbil 'Izzati, Dzat paling tinggi maha sayang lagi kasih, tempat bermanja hamba-hambanya ..... janganlah engkau hilangkan keinginan dari pemimpin negeri ini untuk memperhatikan anak-anak yang ayah mereka teroris tersebut..... anak-anak tersebut tak punya pilihan, seandainya mereka bebas memilih, tentu mereka ingin menikmati indahnya masa anak-anak mereka seperti anak-anak yang lain. Semoga Komnas HAM Anak-Anak lebih intens memperhatikan hak-hak mereka". Saya hapus air mata saya, lalu saya berkata kepada suami yang masih melongo melihat saya, "Bang, mencintai keluarga dan memberikan inspirasi terbaik bagi orang lain, itulah muslim yang sebenarnya. Semoga Indonesia tidak lagi memberikan cerita sedih seperti Suci Hani". Suami saya ketawa dan ia berujar, "I Love You Full".


Minggu, 09 Agustus 2009

Adek : Antara Mbah Surip dan Bom

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Dua minggu terakhir ini, kosakata yang paling laris di rumah kami, dan saya asumsikan juga laris dalam masyarakat, adalah "Mbah Surip" dan "Bom". Saking larisnya dua kosakata ini, membuat anak saya yang paling kecil-bontot, Adek, sering menggunakan kata-kata ini. Dalam cekramanya dengan sang kakak, Ifa, atau ketika bermain dengan teman-temannya di komplek perumahan kami, sering Adek secara lamat-lamat terdengar oleh saya berkata : "aaaaaaaaa, aaaaaaa, aaaaaaaaaaa, " pada teman-temannya. Awalnya saya dan suami agak merasa heran, mengapa Adek mengeluarkan kata-kata seperti itu pada teman-temannya. Tapi akhirnya saya sadar kembali, itu merupakan "brand"-nya Mbah Surip. Di rumah, Adek tidak begitu berani, apalagi sama ayahnya. Di rumah, Adek justru bercengkerama dengan ayahnya dengan "brand" Mbah Surip yang lain : "huaaaa .... haaa .... haaaa" dan ayahnya pun ketawa mendengar apa yang diekspresikan Adek. Luar biasa pengaruh media dan Mbah Surip. Kalau dulu, Adek menyukai Sule dan Olga, sekarang sudah berganti dengan Mah Surip, tapi lebih kepada penggalan-penggalan nyanyi "Tak Gendong" seperti "aaaaaaaaaa" dan "haaaaaaaa" tersebut.

Pagi tadi (Sabtu/8 Agustus 2009), ketika saya membersihkan pekarangan dan kebun samping rumah, Adek bersama Ifa bermain-main dengan sepeda bersama teman-temannya. Kebetulan, suami saya membelikan sepeda buat Ifa dan Adek (suami saya membelikan sepeda bukan karena permintaan "ngotot" dari Ifa untuk dibelikan sepeda, tapi memang keinginan suami saya untuk membelinya. Ia beranggapan, sepeda adalah refleksi skill, dan seorang anak harus mampu bersepada, sebagaimana halnya nanti ia akan membelikan gitar dan mengajarkan berenang). Ketika Adek, Ifa dan teman-temannya sedang asyik-asyiknya bersepada, dan ketika saya sedang asyik-asyiknya membersihkan kebun di pekarangan rumah ............ Adek menangis. Rupanya, ia tidak diberikan kesempatan oleh kakaknya mengendarai sepeda. Saya diam saja sambil melihat, bagaimana reaksi Adek pada Ifa. Adek terus menangis meminta agar dia diberi kesempatan untuk belajar mengendarai sepeda, tapi kakanya tetap tidak mau memberikan kesempatan itu. "Awas, nanti Adek beritahu sama Ayah", kata Adek. Ifa tetap diam dan terus mengendarai sepeda. "Nanti Adek minta uang sama Ayah, Adek tak kasih teta", kata Adek (dia memanggil kakanya dengan panggilan "Teta Ifa". Ifa tetap diam. Karena tak ada respon, Adek mengeluarkan potensi suara untuk menangis : "aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa", lantas teman-temannya bilang, "Adek mirip Mbah Surip", sambil tertawa. Karena kesal diejek, akhirnya Adek pergi ke arah saya sambil tetap menangis. Saya yakin, ia akan mengadu pada saya. Tapi tidak, ia hanya berdiri disamping saya, sambil mengusap air mata, ia kemudian menjerit pada kakak dan teman-temannya yang lagi mentertawakan Adek sambil mengeluarkan kata-kata, "Awas, nanti Adek Bom". Dan saya ........ terpana !!!!!

Senin, 03 Agustus 2009

Menjadi Pendongeng yang Ekspressif

Ingatkah Anda saat si kecil menyodorkan buku cerita dan meminta Anda membacakan cerita saat ia hendak tidur? Manfaatkan momen seperti ini, tak hanya makin mendekatkan hubungan Anda dengan anak, tetapi juga memberikan pendidikan baginya. Sebab, para ahli berpendapat bahwa dongeng dapat menjadi salah satu media yang efektif dalam mendidik anak. Namun, bagaimana cara mendongeng yang benar agar pesan dapat tersampaikan dengan benar? Kak Kusomo yang dikenal sebagai raja dongeng membagi beberapa tips cara mendongeng yang baik :

1. Pendongeng harus ekspresif. Untuk menarik perhatian anak, seorang pendongeng harus dapat berekspresi dan enerjik. “Kalau pendongeng lemas dan datar dalam mendongeng, mana ada anak yang mau mendengar,” ujar Kak Kusomo. Menurutnya, dalam mendongeng harus ada perubahan intonasi, mimik wajah, dan gerakan tubuh. “Oleh karena itu, untuk menjadi pendongeng ekspresif, mimik wajah, intonasi, dan bahasa tubuh harus terus dilatih.”

2. Banyak membaca. Menurut Kak Kusomo, seorang pendongeng harus mempunyai banyak cerita. Pasalnya, anak akan bosan jika terus-menerus mendengar cerita yang sama. “Perbanyaklah membaca cerita-cerita rakyat atau literatur lain. Dengan begitu, pendongeng juga dapat berimprovisasi dalam mendongeng,” tutur Kak Kusomo.

3. Memilih cerita yang mempunyai pesan. Tidak semua cerita rakyat mempunyai pesan moral yang bagus bagi anak-anak. “Ada beberapa cerita rakyat yang tidak cocok untuk anak, misalnya tentang perang saudara dan lain-lain. Jadi pilihlah cerita-cerita yang pesan moral atau budayanya dapat ditiru anak,” lanjutnya.

4. Sesuaikan dengan usia anak. Kak Kusomo menuturkan tiap-tiap tingkatan umur. Untuk umur di bawah 5 tahun, dongeng yang cocok adalah mengenai lingkungan, seperti cerita hewan atau tumbuhan. Pada umur 5-7 tahun, anak boleh mulai dikenalkan dengan cerita rakyat. Selanjutnya, anak pada umur 9-12 tahun cocok dengan cerita mengenai fiksi, seperti petualangan. Usia maksimal anak diberi dongeng adalah umur 12 tahun. Setelah itu anak perlu dirangsang dengan metode cerita bersama, seperti diskusi. (Sumber : kompas.com)