Senin, 25 Mei 2009

Mengapa Harus Sule, Olga dan Ruben ?

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Adek…….. anak saya yang paling bungsu, ketika ditanya, “Siapa orang yang diidolakannya?”. Maka jawabannya membuat saya dan suami tersenyum dan terkejut – “Adek suka sama Sule, Olga dan Ruben”. Kesukaannya terhadap entertainer Indonesia yang akhir-akhir ini sedang naik daun, memiliki alasan. Setiap pulang dari Baby School jam 4 sore, ia kemudian main dengan teta-ya (panggilan kesayangannya terhadap kakaknya Ifa) di komplek bareng dengan anak-anak tetangga. Siap Maghrib, biasanya teta-nya akan belajar membaca atau Iqra’ dengan saya. Adek, biasanya mencari kesibukan sendiri seperti mewarnai atau main tali karet. Saya selalu membelikan majalah-majalah anak-anak yang khusus content-nya mewarnai. Namun ini tidak berlangsung lama, dan selanjutnya ia akan meminta untuk menonton TV. Selalu siap Maghrib. Alasannya sangat sederhana, jam-jam tersebut di Trans TV ditayangkan acara sinema-komedi ”OKB dan Opera van Java”. Bintang ”mercusuarnya” – Sule dan Olga. Ketika ayahnya memindahkan channel dengan segala daya upaya bujuk rayu, ia akan protes dengan tangisan yang berkepanjangan.

Ketika Adek bermain-main dengan teman-temannya di komplek, ia sering menyebut-nyebut Sule, Olga dan Ruben dalam komparasi-imaginatifnya. Ini sering terdengar oleh suami saya. Biasanya ia agak tersenyum kecut (terkadang ketawa seakan-akan menikmati improvisasi imaginatif Adek tersebut), walaupun saya tahu ia agak marah pada saya ataupun pada Adek mengapa ”harus Sule dan Olga” yang ditonton. Mengapa harus dua tokoh ”brilyan dalam dunia komedi Indonesia” ini yang diidolakan Adek. Namun, terkadang suami saya selalu bilang, kita tak bisa menyalahkan Adek ataupun TV, yang salah adalah kita (saya dan suami). Kita tidak bisa dan mampu memberikan idola alternatif yang sesuai dengan usia dan perkembangan kepribadiannya. Belakangan ini, saya mengorientasikan Adek untuk menonton sinetron Tarzan Cilik ataupun Si Entong. Saya juga melibatkannya untuk belajar bersama-sama dengan kakaknya. Siap maghrib, ia saya ajak belajar Asmaul Husna dengan nyanyian. Nampaknya ia sudah mulai menikmatinya. Saya juga mulai mengintesifkan membeli CD seperti CD Film Diego ataupun Ipin dan Upin. Sedikit demi sedikit, Sule-Olga dan Ruben sudah hampir hilang dalam improvisasi imaginatifnya.

Suami saya pernah cerita. Tahun 1980-an akhir ada satu Tabloid yang cukup digemari masyarakat. Nama Tabloidnya, Monitor. Dipimpin oleh seorang jurnalis pintar, Arswendo Atmowiloto. Tabloid ini pernah membuat geger ummat Islam Indonesia dengan Tajuk ”Idola Masyarakat Indonesia”. Iwan Fals Nomor Satu, Nabi Muhammad Nomor 8, dibawah Arswendo pula. Persoalannya adalah, mengapa Nabi Muhammad SAW. yang agung itu ditempatkan oleh Arswendo di peringkat 8. Ummat Islam Indoesia merasa dilecehkan. Monitor didemo, Monitor di caci, Monitor dibreidel dan Arswendo dipenjara. Kata suami saya, peristiwa ini memberikan kepada kita dua pelajaran berarti. Pertama, Arswendo salah karena menafikan aspek etika kewarganegaraan dan kesantunan dalam kehidupan beragama. Ia melecehkan ”perasaan” ummat Islam, walaupun secara metodologi keilmuan, Arswendo betul karena pendapatnya tersebut berdasarkan fakta keilmuan (angket/kuisioner). Namun, kebenarang ilmu harus berada dibawah kesantunan dan etika kemanusiaan. Kedua, peristiwa Monitor ini memberikan pelajaran paling berharga bagi ummat Islam Indonesia. Ummat Islam Indonesia gagal ”menghidupkan” ketokohan Nabi Muhammad dalam hati ummat Islam Indoesia. Kita (guru, dosen, orrang tua, tokoh-tokoh Islam), tidak mampu menjadikan Nabi Muhammad menjadi idola ummat. Buktinya, versi Monitor, ia berada di peringkat 8. Apalagi, tanyakan pada anak-anak, tahukah mereka tentang Fatimah, Khadijah ataupun Ali, Umar, Abu Bakar dan Utsman. Mereka mungkin lebih familiar dengan Luna Maya, Olga ataupun Sule dan Ruben – sebagaimana yang terjadi pada Adek. Akhirnya, saya dan suami sepakat, apabila Adek mengidolakan Sule, Olga dan Ruben, maka saya dan suami adalah orang yang bertanggung jawab penuh karena tidak mampu memberikan idola komparatif yang lebih sesuai dengan latarnya. TV dan lingkungan tidak salah. Itu adalah tantangan. Karena itu, apa yang tejadi pada Adek, memberikan sebuah pelajaran berarti bagi kami suami istri.

Foto Adek dengan teman-temannya di "Baby School" Bundo Kanduang Belimbing. Adek di depan Nomor 3 dari kiri (lagi mengunyah makanan, Adek kurang cantik nampaknya).

Kamis, 14 Mei 2009

AHMADINEDJAD : "Nominasi Idola Anak-Anakku"

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Dengan latar belakang ilmu tarbiyah dan berkecimpung dalam dunia anak-anak, rasanya saya tidak memiliki pengetahuan yang lumayan tentang biografi orang-orang terkenal apalagi tentang ilmu politik. Entah kenapa, untuk yang terakhir ini (politik), saya sedikit apriori. Apalagi tentang politik internasional. Saya tidak mau mendikotomikan diri : barat-timur, Sunni-Syiah apatah lagi Amerika Serikat - Anti Amerika Serikat. Disamping pengetahuan saya tentang hal ini "sangat luar biasa dangkal", arahan agar dewasa dalam berfikir oleh suami juga membentuk pola pikir saya. Pada prinsipnya saya tak mau menghabiskan waktu dan energi untuk mendikotomikan hal tersebut. Saya hanya ingin menjadi "hamba Allah" yang baik, bekerja dengan ikhlas dan mengabdi pada keluarga (jadi ibunda yang baik bagi anak-anakku serta istri bermartabat bagi suamiku) dan pengabdian tulus buat profesi. Sehingga tidaklah mengherankan, apabila saya tidak memiliki idola "tokoh-tokoh dunia". Namun, ketika suami saya mengenalkan beberapa tokoh "lintas ideologi keIslaman", menceritakan sisi-sisi baik mereka, saya juga agak tersentuh.

Suami saya banyak memiliki tokoh idola, dan biasanya selalu hanya untuk aspek tertentu saja. Kecuali Nabi Muhammad SAW. dan Ali bin Abi Thalib serta Umar bin Khattab, hampir tak ada idola suami saya yang sifatnya total. Ia mengagumi Mandela dengan konsistensi perjuangannya, Mama Theresa dengan "sifat malaikatnya", Che Guevara dengan idealismenya, bahkan Tan Malaka serta Muhammad Hatta untuk aspek prinsip hidup dan kepintarannya. Hampir tak ada artis/entertainer yang diidolakannya. Paling-paling Sir Alex Ferguson (karena ia pengagum berat klub bola Manchester United), atau kesukaannya terhadap karya seorang seniman/artis seperti ia sangat menyukai musik Kitaro, Enya dan Opick (dan ini biasanya diputar pada malam hari sewaktu ia membaca), dan belakangan ini ia menyukai musik dangdut-nya Ridho Irama........ sungguh sangat sulit menebaknya. Beberapa hari belakangan ini, saya diperkenalkan oleh Suami saya tentang Ahmad Ahmadinedjad, Presiden Iran yang "tegar, berani serta zuhud". Tentang Iran, saya tak banyak tahu. Paling-paling, sedikit tentang Khomeini, atau tentang Film "The Children of Heaven" yang mengharukan itu. Saya juga pernah melihat, ada foto Ali Shariati di Perpustakaan Pribadi kami yang bergandengan dengan foto Khomeini, Ulama-Ulama Minangkabau, Hatta, Tan Malaka, Habibie, SBY dan Albert Einstein serta William Stephen Hawkings. Saya pernah tanya pada suami saya, siapa Ali Shariati itu ? Ia menjawab, "Inspirator Revolusi Islam Iran, Idola saya ketika mempelajari sosialisme Islam". Kebetulan Skripsi Sarjananya tentang Filsafat Sejarah Ali Shariati. Kembali ke Ahmadinedjad....... saya disodori beberapa gambar yang membuat saya trenyuh. Seorang Presiden yang untuk aspek tertentu mempraktekkan kezuhudan Umar bin Khattab. Walaupun saya tidak mengidolakannya, tapi setidaknya, ada "tersangkut" pada hati saya kekaguman terhadap seorang hamba Allah, dalam posisi yang begitu banyak bujukan rayuan, masih bisa mempraktekkan kesederhanaan bersikap dan bertingkahlaku. Rasanya saya ingin mendedikasikan namanya buat nanti (Isya Allah) bila Allah menagmanahkan pada saya anak laki-laki. Sayang namanya tidak begitu menarik ...... tapi entah nanti, mana tahu, dengan kombinasi nama lain.


Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya: “Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?”. Jawabnya: “Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya, Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran”.


Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinya seorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan. Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.



Saya ingin mengajarkan kepada anak-anak saya, bahwa manusia-manusia besar tersebut tidak hanya terdapat dalam novel, sinetron ataupun film. Dalam dunia nyata, dunia masa sekarang, dunia dengan tantangan "kekinian", masih ada tokoh-tokoh Islam yang pantas untuk diteladani.

Senin, 11 Mei 2009

Komunikasi Efektif : Belajar Mendengar Anak

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Salah seorang raja Arab Saudi, Sultan Faisal bin Abdul ‘Aziz (Almarhum), suatu waktu pernah berkata, “Kita diberi oleh Allah 1 mulut dan 2 telinga”. Artinya, mari kita lebih banyak belajar untuk “mendengar” dibandingkan terus-terusan “memerintah” ini dan itu. Terhadap anak, rasanya apa yang dikemukakan oleh Raja Faisal yang zuhud ini, pantas bagi kita sebagai orang tua untuk belajar “mendengarkan” anak. Dalam sebuah penelitian, orangtua biasanya berbicara tujuh kali dan mendengar satu kali. Ini harus dibalik menjadi berbicara satu kali dan mendengar tujuh kali. Karena pada dasarnya anak itu selalu ingin didengarkan. Orangtua perlu membentuk komunikasi yang efektif di antara sempitnya ruang waktu bersama keluarga. Komunikasi, sesungguhnya tidak hanya terbatas dalam bentuk kata-kata. Komunikasi, adalah ekspresi dari sebuah kesatuan yang sangat kompleks. Bahasa tubuh, senyuman, peluk kasih, ciuman sayang, dan kata-kata. Keluarga sebagai tempat berangkat dan kembali. Karena itu ketika ada waktu bertemu dengan seluruh anggota keluarga hendaknya manfaatkan dengan semaksimal mungkin. Kalau ada waktu bertemu, maka tingkat kesabaran orangtua harus lebih tinggi. Jangan sampai karena orangtua merasa capai, lantas marah dengan anak karena hal sepele. Karena kemarahan itu akan merusak komunikasi efektif.

Seni mendengarkan membutuhkan totalitas perhatian dan keinginan mendengarkan, hingga sang pendengar dapat memahami sepenuhnya kompleksitas emosi dan pikiran orang yang sedang berbicara. Bahkan, komunikasi yang sejati, sang pendengar mampu memahami apa yang terjadi atau yang dirasakan oleh lawan bicara meski dengan kata-kata yang sangat minimal. Dalam memecahkan berbagai masalah harus berdasarkan pada pertimbangan win-win solution. Artinya orangtua di sini tidak boleh otoriter, tapi harus melihat jalan terbaik untuk kedua belah pihak. Proses komunikasi efektif antara orangtua dengan anak, sangat membantu anak memahami dirinya sendiri, perasaannya, pikirannya, pendapatnya dan keinginan-keinginannya. Anak dapat mengidentifikasi perasaannya secara tepat sehingga membantunya untuk mengenali perasaan yang sama pada orang lain. Bagaimana, sudahkah kita menerapkan komunikasi efektif dengan buah hati? ............. saya dan suami, sedang berusaha untuk terus belajar, bagaimana untuk bisa "mendengar"kan apa yang dikatakan Ifa dan Adek.


Saya (sebelah kanan) bersama dengan seorang teman yang lagi asyik baca al-Qur'an d alam Acara MTQ Kepala Sekolah TK, SD, SLTP dan SLTA Se-Kota Padang. Walaupun tidak memperoleh juara..... ada kebahagiaan luar biasa telah bisa ikut.