Jumat, 31 Mei 2013

Kidung Anak : "Ketika Tak Sesuai Usia"

Ditulis ulang : Imla W. Ilham
Sumber (c) Pelangi Anak

“Kawin...kawin...minggu depan bakal kawin”...
“Kawin...kawin...tidur ada yang nemenin”...

Atau lagu berikut :

“Ku mencintaimu lebih dari apapun, meskipun tiada satu orangpun yang tahu”...
“Ku mencintamu sedalam-dalam hatiku, meskipun engkau hanya kekasih gelapku”...

Sebagian besar dari kita mungkin sudah tidak asing lagi, ketika syair-syair tersebut singgah menyapa gendang telinga kita. Tak hanya kita sebagai orang dewasa saja yang tersihir oleh syair tersebut, anak-anak pun juga mengalami hal serupa. Mereka seolah terbawa arus oleh derasnya kata-kata manis syair lagu tersebut. Menurut pengakuan seorang dosen di sebuah PTN, di sekitar tempat tinggalnya, beliau kerap mendengar lagu semacam “Batal Kawin” didendangkan oleh anak-anak yang terbilang masih dini. Atau coba kita pikirkan, anak-anak belajar tentang makna dari kata “Kekasih Gelapku”. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala, ketika membayangkannya. 

Beberapa pihak yang terkait dengan dunia anak dan pemerhati anak, mungkin saja hanya bisa mengurut dada dengan kondisi anak-anak, yang dibombardir dengan lagu-lagu orang dewasa. Seperti yang kita tahu, lagu orang dewasa yang berisi tentang cerita cinta dan bumbu asmara beserta adegan mesra sebagai pelengkapnya disajikan sebagai menu yang setiap harinya hampir disantap oleh sebagian besar anak-anak. Padahal isi dari lagu-lagu tersebut, hanyalah fantasi, rekaan, dan bersifat sebagai hiburan semata. Ibarat baju, lagu-lagu tersebut sungguh tak pas dipakaikan pada anak-anak. Tentu saja kelonggaran, karena lagu-lagu tersebut memang selain tidak cocok untuk anak, lagu itu juga tidak diperuntukkan untuk usia dini.

(c) Pelangi Anak
Tapi kenyataanya sungguh mencenggangkan. Tengok saja ajang pencarian bakat menyanyi seperti "IDOLA CILIK". Saya juga heran, peserta idola cilik adalah anak-anak usia sekitar 7-11 tahun, dimana pada usia itu anak masih dalam masa perkembangan yang butuh asupan pendidikan moral dan budi pekerti, tapi sudah dicekoki dengan lagu-lagu orang dewasa. Lucunya saat pentas di panggung mereka juga menyanyikan lagu orang dewasa dengan gaya orang dewasa juga, sehingga gaya asli anak-anaknya hilang. Gaya mereka seolah sudah disetel dan diarahkan oleh koreografi, tidak ada kebebasan dan kreativitas untuk menciptakan gaya mereka sendiri yang khas anak-anak. Atau coba tengok acara "Happy Song Holiday", dimana pesertanya yang anak-anak juga fasih menyanyikan lagu-lagu orang dewasa ketimbang lagu anak anak. Mereka bahkan hapal di luar kepala, ketika menebak judul lagu yang diputarkan. Bagaimana tidak, hampir semua stasiun televisi setiap waktu menghidangkan acara pemutaran klip lagu orang dewasa.

Dewasa ini jarang bahkan nyaris tak ada lagi penyanyi lagu anak-anak yang menggantikan penyanyi yang telah pensiun karena telah beranjak remaja. Saat ini pun jarang terdengar lagu anak-anak, demikian juga penyanyinya, bisa dikatakan amat minim. Pencipta lagu anak-anak juga tidak sebanyak dulu. Mungkin pasar industri hanya sedikit tertarik untuk memasarkan lagu anak-anak. Karena disamping sepi pendengar, juga takut tak laku dijual. Sebab anak-anak sekarang lebih tertarik mendengar lagu dewasa ketimbang lagu yang sesuai dengan umurnya. Kalau begini terus lama-kelamaan anak-anak akan menganggap lagu anak-anak itu kampungan dan kuno. Padahal lagu anak-anak dirancang khusus dan diciptakan untuk anak-anak yang sesuai dengan perkembangannya. Selain itu mengandung pesan yang berisi tentang ajaran moral dan budi pekerti.

Bukan salah bunda mengandung. Kira-kita itulah ungkapan yang tepat, bahwa sejatinya memang orangtua tidak bisa disalahkan 100%, ketika mereka sudah berusaha membatasi atau menyeleksi tontonan dan lagu-lagu orang dewasa, apabila lingkungan sekitar tidak berperan serta dalam mendukung. Bisa jadi mereka bergaul dengan anak-anak yang sudah terkontaminasi dengan tontonan dan lagu-lagu orang gede. Lantas kalau sudah begini, mau dikemanakan generasi penerus bangsa kita? Apakah mereka akan melenggang dengan fantasi cinta-cintaan ditengah makin ketatnya persaingan prestasi yang membutuhkan keunggulan tinggi? Yang bukan hanya sekedar cinta-cintaan belaka.