Sabtu, 15 Agustus 2009

Semoga Negara Tak Melupakan Anak-Anak "Mereka"

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Saya masih ingat, malam itu beberapa hari yang lalu dikala kota Padang diguyur hujan nan lebat, sekitar Jam 11 malam, saya bersama suami menonton TVOne. Berdua. Serius sambil makan kerupuk kentang yang sorenya saya buat. Anak-anak saya, Ifa dan Adek sudah tidur. Mereka nampaknya memberikan waktu bagi kami berdua untuk sekedar menonton TV dengan acara yang agak "serius". Entah kenapa, saya mulai asyik dan respek terhadap berita teroris. Suatu hal yang selama ini tidak ingin saya tonton, apatah lagi menyukainya. Diantara rentetan silih berganti, sambung menyambung dan berulang-ulang, berita tentang "Mengejar Teroris" a-la TVOne tersebut, ada satu tayangan yang membuat mata saya sabak-berair, ketika Suci Hani menaburkan bunga di pusara sang suaminya .... Ibrohim @ a'am @ boim ...... si kreator bom J.W. Marrit dan Ritz Carlton, 17 Juli 2009 yang lalu. Sabak mata saya bukan simpati pada Ibrohim ataupun Nurdin M. Thop dan anak cucu ideologinya. Untuk kasus ini, saya sudah diajarkan oleh suami sebuah parameter baku : "Islam itu Rahmatan lil 'Alamin ..... rahmat bagi seluruh alam". Dan saya agak "bodoh" untuk urusan wacana Islam Radikal ini dengan seluruh istilahnya. Bagi saya, kegiatan-kegiatan Thopian (ideologi Nordin M. Thop, kalau boleh saya mengistilahkanya dengan ini) di Indonesia belakangan ini, justru menggambarkan bahwa mereka telah mencederai keagungan Islam sebagai agama Rahmatan lil 'Alamin. Sabak mata saya ketika melihat seorang istri, pada malam hari ditengah-tengah pressure sosial dan sorot kamera bak "mata dewa medusa" menaburkan bunga di pusara suaminya, yang beberapa hari lalu tewas ditembak Tim Densus 88 Anti Teror di Desa Beji Temanggung, yang siangnya dikuburkan tanpa kehadiran keluarga, yang suaminya ditolak dikuburkan oleh warga kampungnya, yang anak-anaknya terus menanyakan keberadaan ayahnya, yang mungkin air matanya sudah tak bisa mengalir lagi secara alamiah. Ya.... saya tak bisa merasakan bagaimana pedih-perihnya hati seorang Suci Hani, istri Ibrohim@A'am@Boim.

Saya tak bisa bayangkan, bagaimana perkembangan psikologis anak-anak mereka. Saya tak bisa bayangkan, bagaimana sisa amunisi "kekuatan psikologis" yang harus dimiliki oleh wanita bernama Suci Hani ini untuk melangkah ke depan membimbing tangan-tangan mungil anak-anaknya. Sambil menghapus air mata, saya menoleh kepada suami saya yang diam-hening membisu kala itu, dan mulai berkata, "Ya Allah Rabbil 'Izzati, Dzat paling tinggi maha sayang lagi kasih, tempat bermanja hamba-hambanya ..... janganlah engkau hilangkan keinginan dari pemimpin negeri ini untuk memperhatikan anak-anak yang ayah mereka teroris tersebut..... anak-anak tersebut tak punya pilihan, seandainya mereka bebas memilih, tentu mereka ingin menikmati indahnya masa anak-anak mereka seperti anak-anak yang lain. Semoga Komnas HAM Anak-Anak lebih intens memperhatikan hak-hak mereka". Saya hapus air mata saya, lalu saya berkata kepada suami yang masih melongo melihat saya, "Bang, mencintai keluarga dan memberikan inspirasi terbaik bagi orang lain, itulah muslim yang sebenarnya. Semoga Indonesia tidak lagi memberikan cerita sedih seperti Suci Hani". Suami saya ketawa dan ia berujar, "I Love You Full".


Tidak ada komentar: