Sabtu, 13 Oktober 2012

Sorga Itu Dirumah

Ditulis ulang : Imla Wifra Ilham, S.Ag

(c) Lucia Coghetto - Open Art Group
Tawuran lagi. Di Jakarta pelajar SMU luka parah tersabet celurit. Sedang di Makasar, dua mahasiswa berkalang tanah. Jika Kiyosaki menyebut anaklah yang tahu dan pemilik masa depan, terus seperti apakah bangsa ini di era mendatang?. Makam Alawy Yusianto Putra belum kering. Juga kesedihan keluarga serta teman-teman sekolahnya di SMAN 6 Jakarta. Tawuran antara SMAN 6 dan SMAN 70 itu menyisakan renungan panjang. Apakah peristiwa itu masih bisa disebut sebagai kenakalan remaja?. Buntut tawuran itu juga belum selesai. Tersangka pelaku sedang diproses penyidik. Ada tersangka lain yang akan diamankan. Ini membuat was-was guru dan orang tua siswa di sekolah ini. Jangan-jangan anak-anak mereka yang sedang belajar tersangkut dan masuk bui. Sebab perilaku itu dikategorikan sebagai tindak kriminal murni.  Namun ketika kepedihan itu belum terhapus, tawuran terjadi lagi. Di Jakarta, jalanan dijadikan ajang perkelahian, seorang pelajar kritis tersabet celurit. Di Makasar kampus dibuat gelanggang adu fisik, diteruskan di rumah sakit mengakibatkan dua nyawa melayang. 

Kita mengurut dada atas musibah itu. Kita prihatin terhadap kejadian itu. Bela sungkawa sedalam-dalamnya layak diberikan pada generasi penerus yang mati sia-sia itu. Juga terhadap keluarga yang ditinggalkan, yang tidak terbayangkan betapa pedih hati mereka. Anak, secara spiritual, memang bukan milik kita. Itu titipan dari Tuhan. Dalam bahasa Kahlil Gibran, anak itu bak anak panah. Orang tua hanya merentang busur, mengarahkan pada yang diinginkan. Ketika anak panah lepas dari busur, di situlah takdir sedang berproses. Tepat seperti yang diinginkan orang tua, atau melenceng jauh dari sasaran. Dari kiasan ini bisa diambil hikmah. Jika orang tua semasa anaknya masih hidup telah memberi pengertian baik tentang makna hidup, syukurilah takdir itu. Jika semasa 'titipan Tuhan' itu belum 'diambil', orang tua yang bersangkutan belum memberikan pengertian yang layak tentang hidup, maka ini saatnya untuk menyadarkan para orang tua yang lain agar memberi bekal yang memadai bagi anak-anaknya. Zaman ini memang membuat orang tua dan anak-anak ada di persimpangan jalan. Kemajuan telah membuka segalanya, yang boleh dan tidak boleh. Anak dengan karakter bawaannya yang ingin tahu dan akhirnya serba tahu telah membawanya pada pengalaman-pengalaman baru dan pemahaman-pemahaman baru. Anak-anak kita menjadi lebih hebat dari orangtuanya.  Dalam bahasa lugas, T Kiyosaki pengarang 'Reach dad, poor dad' mengatakan, "jika ingin tahu masa depan, tanya anak-anakmu". 

Bahkan gurindam 'anak polah bopo kepradah' (anak bertingkah, bapak terkena tuahnya) pun sudah jauh-jauh hari di balik. Itu saking banyaknya orang tua yang tidak bisa memberi teladan baik bagi anak-anaknya. Korupsi di tempat kerja, tidak membuka pintu dialog, berfoya-foya dari rezeki yang tidak jelas, dan jauh dari memberi bekal etik agar menyemaikan kemanusiaannya sebagai manusia adalah contoh yang lama tidak diteladankan orang tua. Generasi kini yang brutal, adalah bagian dari hilangnya teladan itu. Anak-anak itu kurang bekal dari rumah, dari lingkungan, dan terlalu banyak mendapat bekal dari luar. Mereka tidak punya sensor untuk menyaring teladan dari dunia antah-berantah itu. Guru yang digugu dan ditiru berasal dari dunia maya. Menyikapi dunia yang sudah dikuasai teknologi itu, jalan yang terbaik adalah menciptakan surga di rumah. Dunia realis yang nyaman, tenang, dan teduh. Bukan dunia impian yang serba instan dan indah. Tanpa itu, maka anak-anak kehilangan pegangan. Kehilangan orang tua, keluarga, yang menyayangi dan mengayomi.

Sumber : detik.com/Djoko Suud - judul artikel : "Anak Polah Bapak Kepradah"

Tidak ada komentar: