Ditulis ulang : Imla Wifra Ilham, S.Ag
(c) Lucia Coghetto - Open Art Group |
Tawuran lagi. Di Jakarta pelajar SMU luka parah tersabet celurit.
Sedang di Makasar, dua mahasiswa berkalang tanah. Jika Kiyosaki menyebut
anaklah yang tahu dan pemilik masa depan, terus seperti apakah bangsa
ini di era mendatang?. Makam Alawy Yusianto Putra belum kering.
Juga kesedihan keluarga serta teman-teman sekolahnya di SMAN 6 Jakarta.
Tawuran antara SMAN 6 dan SMAN 70 itu menyisakan renungan panjang.
Apakah peristiwa itu masih bisa disebut sebagai kenakalan remaja?. Buntut
tawuran itu juga belum selesai. Tersangka pelaku sedang diproses
penyidik. Ada tersangka lain yang akan diamankan. Ini membuat was-was
guru dan orang tua siswa di sekolah ini. Jangan-jangan anak-anak mereka
yang sedang belajar tersangkut dan masuk bui. Sebab perilaku itu
dikategorikan sebagai tindak kriminal murni. Namun ketika
kepedihan itu belum terhapus, tawuran terjadi lagi. Di Jakarta, jalanan
dijadikan ajang perkelahian, seorang pelajar kritis tersabet celurit. Di
Makasar kampus dibuat gelanggang adu fisik, diteruskan di rumah sakit
mengakibatkan dua nyawa melayang.
Kita mengurut dada atas musibah
itu. Kita prihatin terhadap kejadian itu. Bela sungkawa
sedalam-dalamnya layak diberikan pada generasi penerus yang mati sia-sia
itu. Juga terhadap keluarga yang ditinggalkan, yang tidak terbayangkan
betapa pedih hati mereka. Anak, secara spiritual, memang bukan milik
kita. Itu titipan dari Tuhan. Dalam bahasa Kahlil Gibran, anak itu bak
anak panah. Orang tua hanya merentang busur, mengarahkan pada yang
diinginkan. Ketika anak panah lepas dari busur, di situlah takdir sedang
berproses. Tepat seperti yang diinginkan orang tua, atau melenceng jauh
dari sasaran. Dari kiasan ini bisa diambil hikmah. Jika orang tua
semasa anaknya masih hidup telah memberi pengertian baik tentang makna
hidup, syukurilah takdir itu. Jika semasa 'titipan Tuhan' itu belum
'diambil', orang tua yang bersangkutan belum memberikan pengertian yang
layak tentang hidup, maka ini saatnya untuk menyadarkan para orang tua
yang lain agar memberi bekal yang memadai bagi anak-anaknya. Zaman
ini memang membuat orang tua dan anak-anak ada di persimpangan jalan.
Kemajuan telah membuka segalanya, yang boleh dan tidak boleh. Anak
dengan karakter bawaannya yang ingin tahu dan akhirnya serba tahu telah
membawanya pada pengalaman-pengalaman baru dan pemahaman-pemahaman baru.
Anak-anak kita menjadi lebih hebat dari orangtuanya.
Dalam bahasa lugas, T Kiyosaki pengarang 'Reach dad, poor dad'
mengatakan, "jika ingin tahu masa depan, tanya anak-anakmu".
Bahkan
gurindam 'anak polah bopo kepradah' (anak bertingkah, bapak terkena
tuahnya) pun sudah jauh-jauh hari di balik. Itu saking banyaknya orang
tua yang tidak bisa memberi teladan baik bagi anak-anaknya. Korupsi di
tempat kerja, tidak membuka pintu dialog, berfoya-foya dari rezeki yang
tidak jelas, dan jauh dari memberi bekal etik agar menyemaikan
kemanusiaannya sebagai manusia adalah contoh yang lama tidak
diteladankan orang tua. Generasi kini yang brutal, adalah bagian
dari hilangnya teladan itu. Anak-anak itu kurang bekal dari rumah, dari
lingkungan, dan terlalu banyak mendapat bekal dari luar. Mereka tidak
punya sensor untuk menyaring teladan dari dunia antah-berantah itu. Guru
yang digugu dan ditiru berasal dari dunia maya. Menyikapi dunia
yang sudah dikuasai teknologi itu, jalan yang terbaik adalah menciptakan
surga di rumah. Dunia realis yang nyaman, tenang, dan teduh. Bukan
dunia impian yang serba instan dan indah. Tanpa itu, maka anak-anak
kehilangan pegangan. Kehilangan orang tua, keluarga, yang menyayangi dan
mengayomi.
Sumber : detik.com/Djoko Suud - judul artikel : "Anak Polah Bapak Kepradah"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar