Jumat, 16 Juli 2010

Intervensi Malaikat dalam Hubungan Seksual

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Di Indonesia, wacana perempuan, agama, dan seksualitas bukanlah hal yang baru, apalagi diskursus perempuan dalam perkawinan, hubungan suami-istri dalam keluarga, hak dan kewajiban suami istri dalam keluarga sudah menjadi pembahasan yang intensif di masyarakat. Buku-buku tentang keluarga sakinah, keluarga barokah, mengatasi masalah perkawinan juga banyak bermunculan di masyarakat. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Indiyah (1999), ditemukan bahwa masalah perceraian 80% disebabkan karena tidak harmonis dalam hubungan seksual. Sebuah studi di Amerika Serikat juga membuktikan bahwa 80% pasangan yang mencari konseling perkawinan juga karena kurang terpuaskan dalam seksualitasnya.

Dari hasil wawancara dengan beberapa teman perempuan saya tentang pengalaman malam pertama, banyak di antara mereka yang mengungkapkan bahwa pengalaman pertama bagi perempuan tidak seindah yang dibayangkan. Hal ini karena secara biologis organ reproduksi perempuan berbeda dengan laki-laki. Bagi perempuan yang masih mempunyai selaput dara yang utuh dengan jenis selaput dara yang kurang elastis, kebanyakan merasa sakit saat berhubungan seksual pertama kalinya. Perlu diketahui bahwa ada berbagai macam selaput dara di lihat dari ke-elastisannya, sehingga ada juga perempuan yang tidak merasa sakit saat pertama kali berhubungan seksual. Saya termasuk mempunyai selaput dara yang tebal dan kurang elastis, sehingga pada saat malam pertama mengalami kesakitan yang luar biasa. Dalam kondisi sakit seperti itu saya teringat akan doktrin yang saya peroleh dari kiyai saya bahwa bahwa istri harus melayani suaminya, kalau tidak maka dikutuk malaikat. Saat itu saya merasa aneh dan mencoba mengkritisi doktrin itu, karena ketika dipraktekkan saya merasa ada yang kurang sesuai, sudah sakit dikutuk malaikat lagi. Saya merasa bahwa ini bukan konsep Islam, saya yakin bahwa Islam yang rohmatal lil’alamin tidak mengajarkan ketidakadilan seperti itu, dimana istri harus melayani suaminya.

Berdasarkan data dan juga pengalaman penulis sendiri itulah, tulisan ini akan membahas tentang persoalan seksualitas dalam keluarga terutama yang terkait dengan hak akan kepuasan seksual dan kewajiban seksual suami-istri. Dasar yang dijadikan pijakan tulisan ini adalah hadis tentang hubungan seksual suami dan istri yang bunyi teksnya sebagai berikut: “Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, maka sepanjang malam itu para malaikat akan melaknati istri itu hingga subuh” (HR. Amad bin Hambal). Jika dibaca secara tektual apa adanya, maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan seksual itu adalah kewajiban istri dan hak suami. Benarkah Islam mengajarkan seperti itu? Benarkah ada seorang suami yang tega istrinya dilaknat malaikat hanya karena tidak mau diajak berhubungan seksual karena sakit? Karena itulah, perlu dilihat kembali bagaimana sebenarnya keshohihan hadist, asbabul wurud, hubungannya dengan ayat-ayat seksualitas dalam Al’Quran. Selain itu apa makna laknat malaikat dalam hadis itu dan yang lebih penting bagaimana sebenarnya konsep hubungan seksual suami-istri menurut Islam. Poin-poin itulah yang akan dibahas dalam tulisan ini.

Hadis tentang campur tangan malaikat dalam hubungan seksual suami-istri ini bervariasi, namun jika dicermati, sebenarnya mempunyai maksud yang sama. Dengan mengetahui variasi sanad (periwayat) dan matan (isi/kandungan) maka dapat diketahui apakah ada periwayat lain atau tidak dan juga dapat diketahui apakah periwayatnya tuggal atau banyak. Ahmad Ibn Hambal (hadis no 9294) :Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu pula para malaikat akan melaknati istri itu hingga datangnya waktu subuh.” Muslim dalam kitab shohih Muslim bagian kitab nikah, hadis no 2594 :Jika seorang istri meninggalkan tempat tidur suaminya maka ia dilaknat malaikat sampai waktu subuh,….. sampai dia kembali”. Bukhori, pada kitab Fatkhul Bari, hadis no 5194, dan kitab nikah hadis no 4795 :Bila seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidur kemudian si istri enggan memenuhi ajakannya, sehingga suami merasa kecewa hingga tertidur, maka sepanjang malam itu para malaikat akan melaknati istri itu hingga waktu subuh”, dan Ahmad dalam Musnat Ahmad, hadis no 7109, dan hadis no 822 : "Janganlah para wanita meninggalkan tempat tidur suaminya kecuali malaikat Allah ‘azza wajalla akan melaknatinya”.

Secara tekstual, hadis pertama berkaitan dengan istri menolak ajakan suami untuk berhubungan seksual, sedangkan hadis yang lain berkaitan dengan istri tidur di tempat/kamar lain. Namun semua hadis tersebut berkaitan dengan kepatuhan sang istri terhadap suami dalam masalah seksualitas. Walaupun isi matannya berbeda di antara hadis-hadis tersebut, namun yang menarik adalah intervensi malaikat terhadap istri yang menolak berhubungan seksual ada pada semua matan hadis tersebut.

Jika dilihat dari perowinya, hadis-hadis ini diriwayatkan oleh lima orang penyusun kitab hadis, yaitu: Bukhori, Muslim, Ahmad Ibn Hambal, Abu Dawud dan Darimi. Kalau dilihat dari hadis yang diriwayatkan oleh Bukhori, Muslim dan Ahmad Ibn Hambal, maka dari jalur sanadnya mempunyai kesamaan jalur sahabat/sanad sama pada urutan ketiga yaitu Abu Hurairah, Zararah bin ‘Aufa, Qotadah Ibn Di’amah. Dari Qotadah Ibn Di’amah ini kemudian terjadi jalur sanad. Setelah dilakukan penelitian terhadap para perowi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa masing-masing periwayat saling bertemu (liqa’) atau setidaknya sezaman dengan periwayat sebelum dan sesudahnya. Jadi hadis yang menyatakan istri akan dilaknat mailaikat jika ia menolak atau menghindar bila diajak berhubungan seksual oleh suaminya atau meninggalkan tempat tidur suami, mempunyai sanad yang shohih. Namun demikian, walaupun sanadnya shohih, namun jika secara harfiah atau tekstual matan hadis bertentangan dengan semangat Al Qur’an maka perlu dilihat asbabul wurudnya (sebab-sebab turunnya hadis) sehingga konteknya akan kelihatan. Kalau sejarahnya terkuak maka mencari nilai-nilai hakiki dari hadis akan mudah.

Asbabul-wurud hadis dapat dilihat secara mikro dan makro. Mikro dalam arti situasi yang khusus yang menyebabkan hadis itu ada. Sedangkan makro berarti menggali situasi dan kondisi dan sosio-historisnya saat itu. Hadis tentang intervensi malaikat dalam hubungan seksual ini, belum ditemukan asbab al wurud mikronya, tetapi dimungkinkan ada kaitannya dengan kondisi sosio-historis dan kultural saat itu atau dengan melihat asbab al wurud makronya. Dari asbab al wurud makro ada kemungkinan hadis itu berkaitan dengan budaya pantang ghilah yang ada di kalangan bangsa Arab sebelum itu. Ghilah adalah bersetubuh istri yang sedang hamil atau menyusui. Mereka menganggap bahwa ghilah itu suatu yang tabu untuk dilakukan. Budaya tersebut begitu kuat di kalangan wanita Arab, sehingga Nabi pernah bermaksud untuk melarang ghilah. Nabi mengurungkan maksudnya, setelah mengetahui bahwa ghilah yang dilakukan ternyata tidak menimbulkan hal buruk bagi anak-anak yang dilahirkan. (HR. Muslim dari Jazamah binti Wahib). Budaya pantang ghilah bagi wanita jahiliyah tidak menjadi persoalan karena mereka boleh poligami dengan tanpa ada batasan. Datangnya Islam membawa aturan tentang batasan poligami dan dalam pelaksanaannya harus adil. Karena itu, jika pantang ghilah tetap dipertahankan, sementara poligami tidak bebas maka hal ini sangat berat bagi mereka.
Jadi, kemungkinannya hadis tersebut untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dirasakan para lelaki Arab Muslim. Selain itu juga untuk menghilangkan budaya pantang ghilah yang masih diikuti oleh wanita Arab Muslim.

Selain itu dimungkinkan hadis ini juga terkait dengan perkawinan anshor dan muhajirin pasca hijrah Nabi ke Madinah. Laki-laki muslim muhajirin yang ikut hijrah bersama Nabi ke Madinan saat itu tidak banyak yang membawa harta. Sedangkan perempuan muslimah anshor yang di Madinah, kebanyakan mereka adalah penduduk asli Madinah yang mempunyai capital/harta lebih dibandingkan laki-laki muslim pendatang. Secara sosiologis dan juga psikologis ada perempuan-perempuan Madinah ini yang merasa dirinya mempunyai status sosial yang lebih tinggi dan juga mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi. Sehingga di saat mereka menikah dengan kaum muhajirin, terkadang masih ada perasaan superioritas itu yang kemudian berimplikasi pada hubungan seksual mereka. Hal ini biasa terjadi, tetapi kalau dibiarkan tanpa ada solusi yang menguntungkan kedua belah pihak, maka keharmonisan dan kebahagiaan keluarga itu akan tergangu.

Dari beberapa hadis dan ayat di atas maka sebenarnya masalah seksualitas dalam Islam menurut penulis adalah:
Pertama, hubungan seksual suami-isteri adalah merupakan hak dan kewajiban, keduanya saling merasakan tidak hanya sepihak. Menjadi hak karena ada rasa kepuasan dan sebagai kewajiban karena adanya unsur saling melayani dan menyenangkan. Sebab, jika hal itu hanya dipandang sebagai kewajiban saja, maka secara psikologis akan dirasakan sebagai beban dan penderitaan. Kedua, isteri maupun suami dituntut untuk saling berdandan sehingga membuat mereka saling tertarik. Jika sama-sama tertarik maka secara psikologis bila berhubungan seksual maka tidak ada yang terpaksa atau dirugikan. Sebab jika ada suami yang mengejar kenikmatan di atas penderitaan isteri atau sebaliknya, maka hal ini bertentangan dengan konsep al Qur’an: mu asyarah bi al ma’ruf.

Ketiga
, isteri sebagai ladang untuk bercocok tanam, menanamkan benih, menyambung keturunan, maka kalau ingin memperoleh hasil tanaman yang berkualitas/keturunan yang baik, maka cara bercocok tanampun harus juga dengan cara yang baik. Sebab, jika menanam padi pada musim panas maka hanya membuang-buang waktu dan akan merusak sawah. Keempat, pakaian adalah lambang dari kesopanan, kerapian, keamanan dan kenyamanan. Jika suami maupun isteri saling merasa menjadi pakaian pasangannya, maka bagaimana agar fungsi dari pakaian itu terwujudkan, artinya bagaimana saling memberi dan memenuhi jika salah satu membutuhkan dengan penuh pengertian dan tidak memaksa atau merasa terpaksa.

Menurut penulis perbincangan masalah hadis-hadis yang dianggap misoginis yang berkaitan dengan hubungan seksual suami-isteri perlu dimaknai secara kontekstual dan dilihat juga bagaimana hadis-hadis lain yang membahas tentang seksualitas dan juga bagaimana al Qur’an membahas tentang hal itu. Selain itu sangat penting untuk menggunakan pendekatan lain baik dilihat dari sisi bahasa yang digunakan, yaitu kata-kata untuk mengajak dan kata-kata untuk menolak. Pendekatan usul al-figh juga sangat penting untuk mencapai suatu keadilan seksual bagi suami maupun isteri, yaitu dengan kaidah hukum Islam yang disebut Dalalah ad-Dalalah. Pemahaman secara fisik dan psikologis perlu diperhatikan, antara lain dengan memahami perbedaan organ reproduksi laki-laki dan perempuan, sehingga dapat memperlakukannya dengan tepat, baik dan sehat; baik fisik maupun psikis. Pemaknaan kembali dapat dilihat secara integratif antara hadis-hadis lain dan al Qur’an.
Dengan demikian melihat realitas seksualitas, maka penulis menyimpulkan bahwa kepuasan seksualitas adalah hak dan kewajiban bersama, antara suami dan isteri. Artinya jika salah satu membutuhkan dan tidak tersalurkan maka sebenarnya pada saat itu akan terjadi suasana yang tidak harmonis baik fisik maupun psikologis. Jika hal tersebut dipahami dengan benar maka penulis yakin angka perceraian akan turun dan problematika seksual akan berkurang.

(c) http://alimatulq.multiply.com/

Tidak ada komentar: