Selasa, 02 Agustus 2011

Survival of The Kindest : "Kacamata Kelembutan"

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Seorang guru yang pernah mengajar dari TK sampai SMU pernah bertutur, bila anak-anak TK berkelahi beberapa menit sudah berpelukan. Namun jika siswa tersinggung, diperlukan waktu lama untuk berpelukan kembali. Ini memberi pelajaran, semakin tua seseorang, semakin sulit ia memaafkan. Ini juga yang bertanggungjawab kenapa kerja sama antar orang menjadi tidak sederhana. Mengatur kerja sama antar perusahaan untuk menyelamatkan industri, itu lebih sulit lagi. Menandatangani kesepakatan perdamaian antar negara, itu yang paling sulit. Tentu terlalu dini bila disimpulkan kalau pendidikan dan pengalaman itu berbahaya. Ada memang pendidikan dan pengalaman yang membuat seseorang jadi fanatik, ada juga pendidikan dan pengalaman yang membuat manusia jadi rendah hati sekaligus open minded. Ini yang sulit dicari. Berpendidikan, berpengalaman sekaligus membuka diri pada orang lain. Ia menjadi sulit karena pengetahuan cenderung membangun kotak, kemudian membagi manusia ke dalam dua kelompok. Yang sesuai dengan kotak disebut teman, yang tidak sesuai menjadi lawan. Itu sebabnya banyak perang dan permusuhan di mana-mana.

Pusing dengan hal-hal seperti ini, seorang murid mencoba mengadu pada gurunya. Dengan lembut gurunya berpesan, sesakit apa pun tubuhmu, seberat apa pun beban jiwamu, berjanjilah bahwa manusia tidak pernah menjadi musuh kita. Musuh sesungguhnya adalah kesalahpahaman. Tersentuh oleh pesan-pesan seperti inilah, mereka yang memiliki kedewasaan kemudian menghentikan permusuhannya dengan semua orang. Kemudian pelan perlahan mengurai banyak sekali kesalahpahaman. Bukan dengan perdebatan, melainkan dengan kebaikan. Seperti pesan tetua di Jawa : “huruf Jawa bila dipangku mati”. Dipangku maksudnya diorangkan. Yang mati dalam hal ini bukan tubuhnya, melainkan egonya. Dan tatkala keakuan tewas, ada diri yang lebih agung muncul yang lahir hanya untuk menolong. “Menolong itu sebuah kegembiraan”, begitulah kira-kira prinsip manusia jenis terakhir. Sister Chan Khong dalam Learning True Love menuturkan, bila ia menikah mungkin hanya bisa melayani beberapa anak. Namun tanpa pernikahan, ada ribuan anak yang bisa diselamatkan. Dalam otobiografi pelayanannya ini, wanita lembut ini menjadi ‘pengemis’ ke sana ke mari untuk membangun rumah-rumah yang hancur oleh bom, mengobati anak-anak yatim piatu, membawa mereka kembali ke sekolah di Vietnam. Dan yang paling mengagumkan dari semua ini, di salah satu halaman buku indah ini ia berbisik, ketika meminta bantuan materi ke orang-orang, sesungguhnya ia tidak saja membantu korban perang di Vietnam, namun juga melatih banyak pemberi untuk membangunkan sifat-sifat kebaikan yang ada di dalam dirinya. Terlihat jelas, dalam setiap kegiatan pertolongan, tidak saja yang diberi memperoleh manfaat, yang memberi pun memperoleh manfaat. Bahkan manfaat yang lebih besar: matinya ego sekaligus lahirnya kebaikan. Di jalan ini, berlaku rumus generousity is complete in itself. Pemberian itu sudah sempurna hanya dengan dilaksanakan. Tanpa dihitung, tanpa ditagih, tanpa diharapkan. Ada juga yang menulis : The very purpose of spiritual practise is to serve others. Melayani, itulah satu-satunya tujuan olah spiritual.

Sebagaimana diceritakan rapi oleh film Pay It Forward. Satu kebaikan bisa beranak pinak sampai merubah sebagian besar masyarakat. Andaikan banyak pemimpin yang trampil menyemai bibit-bibit kebaikan (melalui keteladanan), menyediakan lahan pada organisasi yang menghargai pelayanan, serta menyiraminya dengan imbalan memadai, betapa indahnya dunia kerja. Institusi keluarga yang sedang mengalami keruntuhan, hubungan antar manusia yang memanas di mana-mana, juga ikut ketularan. Ia yang tekun di jalan ini akan mengerti, dalam jangka panjang hanya kebaikan yang paling menyelamatkan. Compassion is the best protection. Inilah survival of the kindest. Yang bertahan pada akhirnya hanyalah yang bernafas dengan kebaikan. Ini tidak perlu dilakukan dengan cara yang hebat-hebat. Seorang wanita bule di Ubud Bali memberi makan pada sejumlah anjing kampung setiap hari. Sahabat kasir mengembalikan uang lebih nasabah. Suami membantu isterinya mencuci piring ketika pembantu pulang kampung. Ada Ibu yang menemukan kebahagiaan sekaligus kebanggaan dengan menyayangi anak-anaknya. Tetangga non muslim ikut menjaga rumah-rumah yang kosong di hari-hari lebaran. Mengulangi pesan di atas, ketika kita melaksanakan kebaikan sesungguhnya tidak saja sedang menolong orang, namun juga mendidik diri untuk menjadi baik. Dan kebaikan inilah suatu hari yang akan menyelamatkan. Perhatikan pesan seorang guru: “Memberilah terus menerus. Dan lihat wajahmu berubah menjadi lebih lembut di cermin setelah melakukan banyak pemberian”. Bagi yang sudah ngelakoni, tidak saja muka jadi lembut, kehidupan memunculkan kelembutan di mana-mana. Isteri, suami semuanya terlihat lembut. Bukan karena berubah dalam sesaat, namun karena kaca mata yang dikenakan adalah kaca mata kelembutan. Sehingga semuanya tidak punya wajah lain terkecuali kelembutan.

(c) Gede Prama/blogdetik.com



Foto : Americangalleri

1 komentar:

Jemy Kaledupa mengatakan...

salam ramadhan
aq numpang titip link blog-ku
http://www.cintaseoranganakmanusia.co.cc/