Selasa, 23 Maret 2010

"Saudaraku Yang Memalukan" : Catatan yang Tertinggal Dari Peristiwa Gempa Sumatera Barat 30 September 2009

Oleh : Muhammad Ilham

Peter F. Drucker, dedengkot Ilmu Manajemen, pernah mengatakan bahwa keberhasilan seseorang berkorelasi dengan kemampuannya memanfaatkan dan mengoptimalkan kesempatan yang ada. Sementara itu, "mbah"-nya Kapitalisme - Sdr. Adam Smith - mengeluarkan diktum tersohor : "Dengan modal kecil untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya". Minimalisir modal untuk maksimalisasi keuntungan. Bila digabungkan dua rumus "matematika" ini, maka lahirlah rumus (baru) : "orang berhasil itu adalah orang yang mampu memanfaatkan kesempatan untuk meraup keuntungan besar dengan modal kecil".

30 September 2009, Jam 16.00 WIB sore, lebih kurang, beberapa saat setelah gempa terjadi, saya bersama istri terjebak macet luar biasa. Jarak dari sekolah tempat istri saya mengajar ke rumah kami di Perumahan tempat kami tinggal di Korong Gadang Kuranji sekitar 13 Km, lebih kurang. Kalau dari kampus IAIN tempat saya mengajar, sekitar 8 Km, lebih kurang pula. Kalau suasana normal, ataupun macet agak sedikit, jarak tempuh dengan motor "Supra Paling Fit" saya, sekitar 30-45 menit. Tapi hari itu, saya dan istri sampai ke rumah pukul 23.00 WIB tengah malam. Keterlambatan tersebut .......... ya, karena macet tadi dan kehabisan minyak bensin motor saya yang "Supra Paling Fit" tersebut. Karena jalan motor sangat lambat-tertatih, sementara mesinnya tetap hidup, tanpa saya sadari, dipertengahan jalan, motor mati. Bensinnya habis. Jam 20.00 WIB malam - lebih kurang. Kal itu, perjalanan saya dan istri masih setengah menuju rumah. Terpaksa saya "heret" motor keluaran 2004 ini, sementara istri berjalan kaki sambil menenteng sepatu. Ia keletihan. Saya kasihan ....... sumpah, saya sangat kasihan melihatnya. Bila saya punya helikopter kala itu, saya akan pangku istri saya untuk terbang bersama menuju rumah, dimana dua putri mungil kami, kami tinggalkan dengan pengasuh. Tapi sayang, saya tak punya helikopter. Saya pegang stang motor, sementara istri saya berjalan dibelakang tubuh saya ditengah hiruk pikuk mobil-klakson, asap knalpot yang pekat didalam suasana malam tanpa listrik yang padam sesaat setelah gempa terjadi.

Saya berusaha mengeluarkan motor dari antrian yang padat, menepi. Rehat. Setelah merokok 1 batang, saya mencari Air Mineral. Kebetulan ada beberapa anak muda yang menenteng kardus Air Mineral, saya panggil salah satu di antara mereka, kemudian saya ambil dua botol ukuran menengah Air Mineral merk SMS. Biasanya di komplek perumahan atau ditempat lain, Air Botol ukuran menengah ini saya beli Rp. 2.000 satu botol. Kebetulan dalam dompet saya ada uang Rp. 20.000,-, tak lebih tak kurang. Saya serahkan lembaran uang Rp. 20.000,- tersebut. Penjual Air Mineral, yang anak muda tadi, mengembalikan uang satu lembar, Rp. 10.000,-. Saya protes, "Dik, kok kembalian uangnya 10.000,-. Biasanya 1 botol hanya 2.000,-", kata saya sambil sedikit agak marah. "Satu botol Rp. 5.000,-. Kalau abang mau cari yang 2.000,-, cari saja di tempat lain", katanya sambil berlalu. Saya dan istri hanya bisa menggerutu. Setelah dahaga dan penat agak terlepaskan, saya dan istri mulai "mengheret" motor, mencari orang yang menjual bensin. Biasanya, dalam setiap 100 meter, pasti ada kedai yang menjual bensin eceran. Tapi entah kenapa, pada malam itu, kedai-kedai penjual bensin eceran ini pada tutup. Setelah hampir 1 kilometer berjalan, melalui "jasa informasi" seorang teman yang juga terjebak macet, ia menyarankan saya dan istri mencari bensin di sebuah lorong/gang, kira-kira 200 meter dari jalan umum. Kami ikuti saran teman itu. Baru 100 meter berjalan, sudah terlihat antrian panjang motor di depan sebuah kedai bensin yang biasa-biasa saja. Karena tidak ada opsi lain, saya dan istri akhirnya mau masuk dalam "siklus antri". Hampir 30 menit, akhirnya sampai giliran motor "Supra Paling Fit" saya. Ketika saya pesan 1 liter bensin, si penjual bensin ini mengatakan bahwa 1 liter bensin harganya Rp. 20.000,". Gila. Biasanya 1 liter Rp. 5.000 di kedai-kedai eceran dan Rp. 4.500,- di SPBU. Saya minta pada istri tambahan uang Rp. 10.000 lagi, karena isi dompet saya tinggal Rp. 10.000,- lagi. Sebelumnya, Rp. 10.000,- uang saya telah "diramppk" penjual Air Mineral yang bermerk SMS. Rupanya dompet bistri saya tinggal di kantornya. Panic effect. Akhirnya saya "membenar" untuk 1/2 liter saja. Saya kasih Rp. 10.000,- dengan hati memberontak, bensin yang beraroma "minyak tanah" (nampaknya sudah dioplos) berpindah ke tanki minyak motor saya. Hanya 1/2 liter ..... dan saya jamin, pasti kurang 1/2 liter.

Besoknya, saya bersama salah seorang adik istri pergi melihat bangunan-bangunan runtuh "kreasi gempa" dengan motor "Supra Paling Fit" kesayangan. Ketika sampai di Hotel Ambacang yang porak poranda, saya berhenti. Saya lihat ekskavator sudah mulai bekerja. Di tengah keasyikan melihat kerja ekskavator tersebut, perhatian saya tertumbuk pada beberapa orang bermata sipit serta beberapa orang lagi yang berwajah bule. Saya lihat dari rompi yang merekla pakai .......... bermata sipit adalah relawan Jepang, sementara si Bule dari Australia. Luar biasa, mereka sangat cepat tanggap, baru satu hari kejadian gempa berlangsung, mereka sudah sampai ke Kota Padang ........ dan langsung bekerja. Betul-betul Cepat Tanggap dan bukan Tanggap Darurat. Di depan Hotel Ambacang, saya lihat pedagang minuman Air Mineral dan minyak bensin cukup banyak. Bersama adik istri tadi, saya kemudian membeli Air Mineral, kalau tak salah bermerk "jeje". Rp. 6.000, satu botol ukuran menengah. Saya terperangah, lebih mahal dibandingkan dengan harga tadi malam. Karena merasa "dizalimi" dan "dibodohi", saya berlalu menuju penjual bensin. Untuk jaga-jaga, 2 liter bensin ingin saya masukkan ke dalam tanki minyak motor saya. Saya lihat, para penjual bensin hanya memasukkan bensin yang mau dijual ke dalam botol Air Mineral Aqua ukuran besar ............ dan saya jamin, tidak akan pas 1 liter. Saya tanya, "berapa satu liter, Pak?". "Rp. 25.000,- Pak", katanya. Saya nanar, terdiam, geram dan bercampur aduk. Kemudian saya menoleh kembali ke areal evakuasi Hotel Ambacang yang sudah banyak ditonton para "penonton". Saya ingin kembali melihat beberapa orang bermata sipit dan beberapa lagi bule. Ada rasa malu luar biasa di diri saya. Orang dari nagari "antah barantah" datang ke "rumah ranah Minangkabau" tercinta, berjibaku-berpeluh-berpanas hujan ... hanya untuk mencari saudara-saudara kita yang terhimpit-mati di dalam bangunan. Sementara saudara-saudara saya, se-Iman dan se-Ras, sejak tadi malam hingga hari ketika saya melihat evakuasi Hotel Ambacang tersebut, hanya mau mengikuti "dalil" Peter F. Drucker dan Adam Smith diatas, dan tidak mau mengikuti dalil hati nurani. Kalau tidak membantu dengan tenaga dan uang, setidaknya mereka jangan mempersulit keadaan yang telah-telah nyata sulit kala itu. Karena malu dengan orang yang bermata sipit dan beberapa orang berwajah bule, akhirnya saya pergi dari lokasi evakuasi itu, langsung pulang. Saya tak mau jadi wisatawan dan menjadi penonton. Pada titik itu, saya begitu malu menjadi saudara dari mereka yang hanya memanfaatkan keadaan kritikal yang terjadi.

Sumber : www.ilhamfadli.blogspot.com/artikel ini sudah terbit di Padang-today.com bersamaan dengan 2 artikel sejenis lainnya dengan judul berbeda

1 komentar:

Edy KarangGo mengatakan...

Mantap nee blog. Salam kenal ya dari Edy karanggo. Rang pariaman, posisi dima kini uni? Klo awak d jawa. Pandeglang Prov BANTEN.