Jumat, 11 Mei 2012

Kritik Lampu Merah

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Pagi tadi, hari Sabtu, kami bertiga, saya dan suami serta si bungsu Malika (Adek), pergi ke Pasar Raya Padang. Sementara kakaknya, Iffa, tidak ikut karena sekolah hingga pukul 12 siang. Kami mengendarai sepeda motor revo dari rumah. Dalam perjalanan tersebut, terjadi beberapa dialog antara suami saya dengan Adek. Biasa, sepanjang jalan, banyak hal-hal aneh menurut si bungsu ini yang baginya harus dikonfirmasi pada ayahnya. Di antara dialog tersebut, ada satu yang membuat saya tersenyum, tentang "lampu merah". Begini :

Begitu mendekati Pasar Raya, ada perempatan jalan yang terdapat lampu merah. Kebetulan kami mau belok kiri. Biasanya kalau belok kiri, sebagaimana halnya aturan lalu lintas, si pengendara di perbolehkan untuk terus atau tidak berhenti. Inilah yang kami lakukan ketika dari kejauhan lampu merah masih terlihat menyala. Rupanya, ini menjadi perhatian serius bagi adek.

"Ayah, lampu merah, harusnya kan berhenti. Kok ayah terus saja", kata Adek pada ayahnya.
"Kita kan belok kiri, jadi boleh jalan terus", jawab ayahnya.
"Berarti guru adek di TK salah dong. Kalau lampu merah harus berhenti, tak pernah diterangkan, belok kiri boleh jalan terus", bantah Adek.

Saya dan suami tersenyum.

Tidak ada komentar: