Jumat, 16 Oktober 2009

Etika dengan Standar yang Bervariasi

Oleh : Imla W. Ilham, S.Ag

Suami saya punya teman, namanya Khilal Syauqi. Masih muda, belum 30 tahun. Lebih kurang 5 tahun ia menuntut ilmu di Mesir, Universitas Al Azhar. "Lc" gelar di akhir namanya dan "Haji" di awal namanya. Di daerah-daerah Timur Tengah, kata Khilal yang Haji ini, kita boleh menjentil-jentilkan hidung anggota kabilah di Padang Pasir atau mengelus-ngelus dagunya seakan-akan dagunya itu adalah dagu kita. Mereka tidak akan marah. Bahkan bila sudah akrab, maka setiap ketemu, biasa saja kepala kita yang ditampar atau gantian kepala kita yang "dijitak". Tapi jangan coba-coba menampar atau menyentuh pantat mereka. Mereka bisa murka besar. Entah karena apa, mereka menaruh hormat kepada bagian tubuh ini. Di Indonesia, kita boleh mengecup tangan seberapa banyak yang kita suka, tapi jangan coba-coba menjamah kepala.

Konon, kita diperbolehkan kentut di sembarang tempat di Amerika, khusus di belahan sebelah utara ..... tapi jangan lakukan di Indonesia. Kurang ajar, bar-bar, kurang pendidikan dan seterusnya menjadi label yang akan dilekatkan kepada kita. Setingkat dibawah kentut, sendawa menjadi sesuatu yang biasa di Indonesia, setidaknya yang saya alami. Ada rasa bahagia dari orang-orang terdekat kita ketika kita makan makanan yang mereka buat, maka setelah kita kenyang, sendawa kita keluar. Mereka akan tersenyum, "Alhamdulillah, tidak sia-sia saya memasak, sudah keluar sendawa anda". Sendawa menjadi signal dan parameter enak-tidak enaknya sebuah makanan. Konon, jangan lakukan hal ini di negara-negara "Barat", sendawa menjadi standar tinggi rendahnya etika seseorang di meja makan................. ketika suaminya saya "sendawa" pada waktu selesai makan, ada rasa senang luar biasa pada diri saya. Ketika suami saya "kentut" (he...he 1000 X, maaf ya bang), apalagi di depan anak-anak kami, saya akan cemberut, dan makin cemberut bila ia memberikan justifikasi, "di barat kentut tidak dilarang", katanya sambil ketawa.

Tidak ada komentar: