Minggu, 01 Agustus 2010

Setangkai Mawar Berduri untuk Perempuan Indonesia

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

“Remember the Dignity of your womanhood. Do not appeal. Do not beg. Do not grovel. Take courage. Join hands, stand beside me, fight with me!”
(Ingatlah akan martabat Anda sebagai perempuan. Jangan cengeng. Jangan mengemis-ngemis. Jangan rendah diri. Berbesarhatilah. Mari bergandeng tangan, berdiri di samping saya, berjuang bersama saya!)

Pesan Risa Amrikasari dalam buku terbarunya ‘Especially for You’ itu begitu kuat ditujukan kepada kaum perempuan. Misinya jelas: mengajak perempuan untuk bangkit dari ‘tidurnya’, dan bersikap tangguh dengan kesadaran yang cerdas tentang keluhuran martabatnya. Risa bahkan memberi warning di sampul belakang buku setebal 372 halaman itu, “Anda termasuk orang yang senang membaca hal-hal yang membuai dan menghanyutkan? Anda tidak akan menemukan itu di buku ini. Jika Anda berharap menemukan tulisan-tulisan yang romantis ataupun lemah lembut, Anda akan sedikit tertoreh dengan kalimat-kalimat saya.” Dengan gaya bertutur yang tidak membosankan Risa menuliskan nukilan-nukilan pengalaman pribadi dari kehidupan sehari-hari ke dalam 65 judul artikel mandiri. Kenyataan yang sering diabaikan atau bahkan dihindari oleh orang-orang karena takut menyinggung perasaan, dia bongkar dengan teliti untuk kemudian mengemukakan sikap mana yang harus dikritisi dan diubah, serta mana yang patut dibela. Ia mengulas dari soal mengelola perasaan, kepercayaan terhadap pasangan, perselingkuhan, cinta dan pacaran, sopan santun, perkawinan, perselisihan pendapat, pelecehan seksual, seks di luar perkawinan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perceraian, urusan kantor dan pekerjaan, hingga soal tradisi, agama, bahkan birokrasi, politik, hukum dan perundang-undangan.

Memang, buku ini ditujukan ‘teristimewa bagi perempuan’. Namun kaum laki-laki pun sebetulnya diam-diam menerima ‘kado’ yang sangat bernilai. Meski tema pokoknya adalah martabat perempuan (womanhood dignity), namun siapapun – termasuk laki-laki – yang membaca artikel demi artikel dalam buku ini, seperti diajak me-review kembali pemahaman dan sikapnya berkaitan dengan keluhuran martabat sebagai manusia (human dignity). Buku ini memberi model untuk sebuah upaya demi kemajuan dan kemerdekaan berpikir di Indonesia, terlebih untuk kaum perempuan yang enggan untuk bertatapan langsung dengan persoalan-persoalan esensial seperti itu. Rupanya Risa sadar betul, bahwa untuk membongkar kesadaran akan martabat perempuan tak akan tercapai bila menggunakan cara penyampaian deduktif, biarpun terstruktur serapi mungkin. Pengalaman empiris dari hidup sehari-hari menjadi jalan yang jitu, karena perempuan sangat akrab dengan hal-hal yang detil dan teliti, apalagi menyangkut wilayah ‘domestik’ dunia perempuan. Proses pergulatan Risa melalui medium pengalaman sehari-hari itu dia bagikan dengan kapasitasnya sebagai seorang perempuan yang tidak rela bila sesamanya rapuh dan menyerah pada konsep-konsep yang membelenggu.

Dilahirkan 22 Oktober 1969, perempuan cantik ini dibesarkan dalam keluarga yang mendidiknya dengan penuh cinta dan rasa hormat. Bakatnya untuk cermat terhadap detil hidup sehari-hari dan tak bisa duduk berdiam diri berlama-lama dalam mengerjakan sesuatu, membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang cekatan, tangguh dan resourceable (bisa diandalkan). “Always make a total effort, even when the odds are against you” adalah kutipan favoritnya dari Arnold Palmer. Lulusan Fakultas Sastera Inggris Universitas Nasional tahun 1994 ini sekarang sedang mendalami Ilmu Hukum di Program Magister Hukum UGM, sambil bekerja di International Organization for Migration sebagai Government Liaison Officer dan sebagai Associate pada Prihartono & Partners, sebuah kantor hukum di Jakarta. Buku pertamanya ‘You Need a GOOD LAWYER to Set You Free from the Jail of Your Heart’ sukses merebut hati pembaca. Tulisan-tulisan di blognya pun sangat diminati oleh penggemarnya.

Tak heran bila tema-tema dalam artikel di buku yang kedua ini sangat kental dengan kasus-kasus yang bersinggungan dengan hukum dan tak jauh dari perjuangan hak-hak asasi serta martabat manusia terutama perempuan. Di artikel terakhir, ‘Perempuan, lawan kekerasan itu!’ secara mendetil Risa mengajak kaumnya untuk mengenali pasal demi pasal UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Perempuan yang bermartabat jangan sampai terjebak menjadi korban apalagi sebagai pelaku kekerasan domestik!

Gaya bertutur Risa yang lugas enak dibaca, seperti mendengarkan seseorang yang curhat, ngerumpi, tetapi bermutu karena menggugah pembacanya untuk memakai cara pandang baru, bersikap positif dan cerdas, tidak hanya dikendalikan oleh emosi dan perasaan dalam hidupnya! Remake yourself, refresh yourself! (hlm. 40-47) sehingga ada ‘nyanyian baru’ dalam hidup pembaca. Meski beranjak dari pengalaman personal domestik keperempuanan, Risa Amrikasari berhasil memasukkan isu politis. The personal is political. Isu ini populer dalam gerakan-gerakan feminis di Amerika pada paruh kedua tahun 70-an, dan mendapatkan ruangnya dalam proses kreatif para seniman perempuan Amerika (feminist art).

Generasi pertama dari gerakan-gerakan feminis ini cenderung mengeksplorasi isu-isu multikulturalisme dan feminisme dengan berangkat dari pernyataan identitas perempuan dan upaya perlawanan. Simbol-simbol visual yang mereka gunakan, menyampaikan pesan secara verbal dan kontroversial. Mereka mempertanyakan hal-hal yang berkaitan dengan tubuh dan isu komodifikasi. Pengalaman keperempuanan ditatapkan dengan wilayah sosial, bahkan politik. Karya-karya mereka merupakan bagian dari gerakan politik untuk mendukung kesetaraan dan persamaan hak bagi perempuan. Dalam proses berkarya mereka langsung bersentuhan dengan problem riil dalam masyarakat, menciptakan diskusi dan pemikiran, menginisiasi perdebatan dan bersifat partisipatif untuk proses sosial. Alih-alih menggunakan bahasa yang verbal, generasi kedua cenderung menyampaikan kritisisme mereka dengan metafor. Pengalaman personal yang bersentuhan dengan isu-isu sosial-politik aktual menghadapkan mereka pada berbagai kontradiksi yang kemudian dituangkan dalam karya sebagai sebentuk kritisisme untuk membangun dialog yang berkaitan dengan isu tertentu. Relasi antara agama dan manusia, yang nyata dengan yang maya, harmoni dan ancaman, menjadi isu-isu yang mereka angkat. Dalam isu-isu itu ada semacam tuntutan tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan.

Sementara generasi ketiga menampilkan pengalaman personal dengan keinginan untuk merayakan dan membagikan pengalaman itu, bukan dengan spirit untuk melawan atau berpartisipasi menciptakan diskursus tertentu. Mereka cenderung ‘menerima’ situasi-situasi dimana perempuan mempunyai lebih banyak pilihan sebagai sesuatu yang ‘given’. Mereka ini umumnya tidak menjumpai kesulitan untuk berkontribusi dalam kehidupan publik. Karya-karya mereka dekat dengan budaya populer. Risa Amrikasari pasti mengerti tentang pola-pola dalam gerakan para seniman perempuan, dan sadar betul tentang porsi mana yang pantas diberikan kepada kaum perempuan Indonesia. Di sinilah, kepiawaian Risa ditampilkan dalam membagikan gagasan-gagasan perubahannya. Mungkin ciri pertama terkesan begitu kuat. Namun barangkali perempuan Indonesia saat ini memang harus ‘digebrak’ dengan pendekatan seperti itu. Untuk membaca tulisan-tulisan Risa Amrikasari dalam buku ini rasanya tak perlu memasang ‘kuda-kuda’ terlebih dahulu seperti mau bertempur menghadapi lawan yang asing. Namun yang dibutuhkan adalah hati yang terbuka, seperti kedua belah telapak tangan yang menyambut setangkai mawar merah dari pribadi yang benar-benar tulus mencinta. Mawar itu harum wangi, meski tangkainya bisa saja berduri (Dimuat di halaman Opini Harian Merdeka, Kamis, 30 Juli 2009).

:: walau tak semua bagian dari buku ini yang mungkin kita tidak bersetuju, tapi setidaknya buku ini memberikan perspektif yang mencerahkan bagi kita, terutama bagi kaum perempuan. Bukunya sangat menarik.

Tidak ada komentar: