Selasa, 05 Juli 2011

Andy F. Noya : "Jurnalis Berjiwa Kemanusiaan"

Ditulis ulang : Imla W. Ilham

Andy F. Noya bersama acara talkshow yang dipandunya, Kick Andy, berhasil merebut hati jutaan pemirsa yang rindu menyaksikan program acara televisi yang mendidik dan menginspirasi. Tidak cukup sampai di situ, pria yang tadinya pemalu ini, berusaha merangkul berbagai yayasan dan para pejuang kemanusiaan untuk menjangkau lebih banyak orang-orang yang hidupnya terpuruk dan terbuang lewat yayasan Kick Andy Foundation (KAF).

Andy F. Noya, begitu ia biasa memperkenalkan dirinya kala tampil memandu sebuah program talkshow di televisi yang diambil dari namanya, Kick Andy. Ia lahir dengan nama Andy Flores Noya, pada 6 November 1960 dari pasangan Ade Wilhelmus Flores Noya dan Nelly Mady Ivonne Klaarwater. Sejak kecil anak bungsu dari lima bersaudara ini hidup dalam kesederhanaan, ayahnya sehari-hari bekerja sebagai tukang servis mesin ketik sedang sang ibu membantu perekonomian keluarga dengan memanfaatkan keterampilan menjahitnya. Meski anak bungsu, Andy tergolong anak nakal dan ’slebor’. Waktu kecil ia sering tidak pulang ke rumah, ikut mencuri mangga dan burung dara untuk dijual. Kalau tak dikasih uang, kaca-kaca rumah ia pecahkan. Kenakalan ini membuat kakak-kakaknya berpikir kalau Andy suatu saat kelak bisa menjadi penjahat. Masih jelas terekam dalam ingatan Andy saat ia mencoba membantu sang ayah memperbaiki mesin ketik, ayahnya kemudian berkata, ‘jangan kamu sentuh mesin ini’, seketika Andy sadar ayahnya tak ingin ‘mewariskan’ profesinya pada Andy. Hal tersebut dapat dimaklumi karena seperti orangtua pada umumnya, mereka ingin anak-anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Oleh sebab itu, atas dorongan ayahnya, selepas menamatkan pendidikan dasarnya, Andy bersekolah di Sekolah Teknik Negeri Jayapura yang kemudian dilanjutkan ke Sekolah Teknik Mesin Negeri 6 Jakarta. Alasannya, agar Andy bisa langsung bekerja setelah lulus dan membantu orang tuanya.

Namun, tanpa disadari kedua orangtua Andy, sang anak telah menentukan jalan hidupnya sendiri sejak kecil yakni menjadi seorang wartawan. Pasalnya sejak duduk di bangku SD, ia sudah jatuh cinta pada dunia tulis menulis. Selain itu ia juga senang menggambar kartun dan karikatur. Saat bersekolah di Sekolah Teknik Negeri (setara Sekolah Menengah Pertama-Red), ia sempat beberapa kali menjuarai lomba karikatur. Andy juga dikenal sebagai siswa yang cerdas, nilai akademisnya yang gemilang bahkan pernah mengantarkan Andy sebagai lulusan terbaik STM Negeri 6. Ia juga sempat menjuarai tiga lomba mengarang tingkat SMA se-Papua. Berkat prestasi belajarnya, ia mendapat beasiswa untuk berkuliah di IKIP Padang, sekolah calon guru. Akan tetapi, karena merasa tak tertarik menjadi guru, beasiswa itu pun ditolak dan diberikannya kepada lulusan terbaik kedua. Titik balik kehidupan Andy dimulai setelah membaca artikel di sebuah majalah remaja tentang sekolah wartawan, Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta. Andy tertarik dan mendaftar ke sekolah yang kini telah berganti nama menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) itu. Jalannya untuk mendaftar tidaklah mulus. Ia sempat terjegal dalam prosedur administratif yang ternyata tidak menerima calon mahasiswa dengan latar belakang sekolah teknik. Karena tekadnya sudah bulat, ia pun tak kehabisan akal. Ia kemudian meminta ibunya untuk berbicara pada rektor STP saat itu, Ali Moctar Hoeta Soehoet. Keinginan untuk berkarir sebagai wartawan yang sudah menggebu-gebu akhirnya membuat sang rektor menyerah dan memberikan kesempatan kepada Andy untuk ikut tes masuk. Tentunya keputusan itu bukan tanpa syarat. Untuk mengikuti tes, Andy terlebih dahulu harus meminta surat rekomendasi dari Dirjen Pendidikan Tinggi. Apabila di kemudian hari nilai mata kuliahnya jelek, ia harus rela didrop out. Andy pun menyanggupi syarat-syarat tersebut, kepercayaan yang diamanatkan sang rektor dibalasnya dengan prestasi gemilang. Dengan demikian ia diperkenankan untuk melanjutkan kuliahnya di STP.

Semasa di Jakarta, Andy tinggal bersama salah seorang kakaknya. Sebagai orang yang menumpang hidup, ia cukup tahu diri dengan membantu pekerjaan rumah sang kakak hingga mengasuh keponakannya. Setiap pagi ia memandikan sang keponakan, kemudian mengantar dan menjemput sekolah baru kemudian ia berangkat kuliah. Sebagai mahasiswa yang jauh dari orangtua, Andy harus pintar-pintar mengatur keuangannya. Penampilannya yang ’slebor’ dengan kaos dan jeans sobek, sepatu butut dan rambut kribo yang tebal, memberi ‘keuntungan’ tersendiri bagi Andy. Setiap kali naik angkot, penampilan ‘gembel’-nya itu sering kali membuat kondektur iba sehingga tidak tega meminta ongkos. Kalau pun sang kondektur menagih ongkos, ia akan turun dari angkot itu lalu naik angkot lainnya. Penampilan ini tetap ia pertahankan saat meliput sebagai reporter di Tempo. Andy juga terpaksa nongkrong berjam-jam di perpustakaan karena tidak sanggup membeli buku. Ia memilih mencatat bahan-bahan pelajaran di buku daripada memfotokopi karena ingin menghemat uang agar bisa makan siang gado-gado Rp 500. Kalau ada kesempatan, ia naik angkot bersama teman dengan harapan dibayari. Ia juga paling senang kalau diajak ke pesta ulang tahun sebab bisa makan gratis. Menginjak semester tiga tepatnya bulan Oktober tahun 1985, secara tidak sengaja ia melihat pengumuman lowongan kerja menjadi reporter buku Apa & Siapa terbitan Grafiti Press, anak perusahaan majalah Tempo. Awalnya ia hanya menemani temannya, belakangan ia malah ikut melamar. Setelah menjalani serangkaian tes, Andy dinyatakan lulus dan langsung diminta bekerja tepat di hari ulang tahunnya yang ke-25. Andy kemudian memutuskan untuk berhenti kuliah dan terjun total bekerja sebagai wartawan.

Pekerjaan tersebut membawanya berkenalan dengan Rahman Tolleng, mantan Pemimpin Redaksi Suara Karya. Diakui Andy, Rahmat adalah orang pertama yang memberinya motivasi untuk maju. ”Dia sering memuji, kalau nanti saya bakal jadi wartawan bagus. Dia bilang, cara saya menulis dan reportase cukup bagus. Mendengar itu, saya jadi tambah bersemangat,” ujar ayah tiga anak ini dengan penuh antusias seperti dikutip dari blog jurnalistik UIN SGD. Dua tahun kemudian, Andy diajak oleh Lukman Setiawan, bosnya di Grafitipers, untuk bergabung dengan harian ekonomi Bisnis Indonesia yang saat itu tengah dirintis. Awalnya Andy sempat ragu karena tidak merampungkan kuliahnya, namun Lukman memberi Andy keyakinan bahwa ia layak dan mampu, ada tidaknya gelar akademis tidak menjadi masalah. Mendengar hal itu, Andy pun menyambut baik ajakan tersebut, dan sekaligus tercatat sebagai 19 reporter pertama di harian tersebut. Andy bekerja selama dua tahun di Bisnis Indonesia dengan posisi sebagai koordinator repotase dan redaktur. Selain Lukman, ada Amir Daud yang berandil besar dalam memoles Andy di masa-masa awal merintis karir sebagai wartawan. Amir yang saat itu menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Bisnis Indonesia banyak mengajarinya tentang moral serta merubah penampilan Andy menjadi lebih rapi. Maklum saja, Andy sudah terbiasa tampil ’slebor’ sejak kuliah dan tergolong pria yang tak terlalu memperhatikan penampilan.

Selanjutnya tahun 1989, ia kembali mendapat tawaran untuk pindah bekerja. Kali ini tawaran tersebut datang dari Fikri Jufri, seorang wartawan senior Tempo. Fikri meminta Andy memperkuat majalah baru terbitan Tempo, Matra. Dari harian bisnis, Andy pun loncat ke majalah khusus pria tersebut. Fikri kemudian memperkenalkannya dengan orang-orang terkenal. Lagi-lagi Andy mendapat pelajaran berharga di lingkungan kerjanya yang baru. Sebagai orang yang berasal dari keluarga kelas bawah, Andy yang cenderung kurang percaya diri dan sedikit tertutup dirubah pola pikir dan penampilannya sehingga berani tampil di kalangan atas. Pada tahun 1992, setelah tiga tahun berkarir di Matra, Andy mendapat tawaran dari Surya Paloh, pemilik suratkabar Prioritas yang waktu itu dibredel, untuk bergabung dengan koran Media Indonesia (MI) yang mereka kelola. Andy pun mengiyakan, maka sejak itu Andy kembali ke suratkabar. Di hari pertamanya sebagai wartawan MI, jam tidur Andy berubah drastis. Jika saat bekerja di Matra, Sabtu dan Minggu libur, dan pukul enam sore tiap hari kerja ia sudah bisa pulang ke rumah, di MI ia harus pulang tengah malam dan pukul delapan pagi sudah berada di kantor lagi. Meski begitu, Andy menikmati hari-harinya di MI karena menjadi seorang jurnalis merupakan impiannya sejak kecil. Jadi padatnya jam kerja sama sekali tak menjadi masalah. Buktinya, di MI-lah Andy mampu bertahan jauh lebih lama dibandingkan media yang lain. Hingga pada suatu siang di tahun 1998, saat televisi swasta mulai banyak bermunculan, Andy pun mengutarakan keinginannya pada Surya Paloh untuk pindah bekerja ke RCTI. Namun Paloh tak meluluskan keinginan Andy, ia kemudian menyarankan Andy hanya bekerja magang di RCTI, setelah itu mendirikan stasiun televisi baru.

Titik balik kehidupan Andy dimulai setelah membaca artikel di sebuah majalah remaja tentang sekolah wartawan, Sekolah Tinggi Publisistik di Jakarta. Andy tertarik dan mendaftar ke sekolah yang kini telah berganti nama menjadi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) itu. Jalannya untuk mendaftar tidaklah mulus. Ia sempat terjegal dalam prosedur administratif yang ternyata tidak menerima calon mahasiswa dengan latar belakang sekolah teknik.


Kemudian, sekitar akhir tahun 1999, Andy diberi tahu seorang teman bahwa untuk mendirikan sebuah stasiun televisi hanya membutuhkan modal sebanyak 3 miliar rupiah. Andy kemudian menghubungi Surya Paloh. Setelah membicarakan mengenai berbagai prosedur dan segala hal yang diperlukan, mulailah dirintis stasiun televisi bernama Metro TV. Pada tahun 2000, baru tujuh bulan bekerja di RCTI, Andy dihubungi Paloh yang memberitahukan surat izin Metro TV sudah selesai. Ia pun diminta memimpin Metro TV sebagai pemimpin redaksi. Stasiun televisi berita pertama di Indonesia itu dibangun dengan konsep dan format CNN, televisi berita 24 jam nonstop milik Time Warner Inc. Konsep tersebut kemudian diubah kembali agar lebih membumi dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia. Tiga tahun kemudian, Andy ditarik kembali ke Media Indonesia dan menjadi pemimpin redaksi di surat kabar umum terbesar kedua itu. Posisinya sebagai Pemred Metro TV digantikan Don Bosco Selamun. Memasuki tahun 2006, Don Bosco mengundurkan diri, Andy kemudian diminta merangkap menjadi pemimpin redaksi Metro TV dan wakil pemimpin umum di Media Indonesia. Masih di tahun yang sama, setelah bertahun-tahun bekerja di belakang layar, tahun 2005, Andy F. Noya mendapat tantangan baru dalam karir jurnalistiknya. Ia ’dipaksa’ Surya Paloh membawakan sebuah program talkshow bertajuk Kick Andy. Awalnya Andy menolak, dengan alasan ia adalah orang yang pemalu. Tapi karena ’paksaan’ dari sang bos tadi ia pun bersedia. ”Katanya saya punya talenta dan punya seni bertanya, tajam tapi tidak menyakiti orang. Waktu di RCTI saya pernah mewawancarai Wiranto. Saya bertanya seputar kerusuhan. Pertanyaan saya sangat tajam tapi dia tidak tersinggung. Pak Surya menginginkan saya seperti Larry King. Dari sini dibuatlah program untuk saya, jadilah KickAndy. Formatnya seperti Oprah Winfrey,” jelas suami Retno Palupi ini.

Kepercayaan Paloh pada sosok Andy F. Noya tak meleset. Di tangannya, Kick Andy menjadi salah satu program unggulan Metro TV. Boleh dikatakan Kick Andy dapat bersaing di tengah gempuran tayangan televisi yang hanya mengedepankan sisi hiburan semata. Dengan menyuguhkan berbagai tema, talkshow tersebut dari tahun ke tahun semakin digemari sebagai program televisi alternatif yang sarat edukasi namun tetap menghibur. Dalam setiap penayangannya Andy mengangkat berbagai kisah inspiratif dari para tokoh yang sebelumnya jarang atau bahkan belum pernah tersentuh pemberitaaan media. Seperti kisah Andi Rabiah, si suster apung yang mengabdikan dirinya memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat di pulau-pulau terpencil; atau kisah lain dari Maria Gisela Borowka, perawat berdarah Jerman yang puluhan tahun merawat penderita kusta di Pulau Flores.

Kisah dua wanita berhati mulia itu kemudian diangkat ke dalam sebuah buku bertajuk Tujuh Pahlawan Pilihan ”Kick Andy”, Se7en Heroes. Lima pahlawan lain yang kisahnya juga pernah diangkat dalam talkshow Kick Andy adalah seniman Didik Nini Thowok, pendiri panti rehabilitasi penderita sakit jiwa Gendu Mulatif, Wanhar Umar seorang guru lulusan SD, ekolog Victor Emanuel Rayon, dan Sugeng Siswoyudhono pembuat kaki palsu. Mereka adalah orang-orang yang dengan ketulusan hatinya memberi kepada sesama tanpa memperhitungkan imbalan, penghargaan, ataupun balas jasa. Mereka hanya memberi tanpa berharap menerima. Dalam perjalanannya, Kick Andy mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Seperti saat Kick Andy mengangkat kisah seorang pemuda buta bernama Buyung yang menjual sapu lidi bersama ibunya. Setelah menyaksikan kisah yang menyentuh itu, sejumlah penonton berinisiatif memberikan bantuan. Buyung yang awalnya mencari nafkah dengan menjual sapu lidi kini memiliki rumah dan sejumlah tabungan di bank, yang dari bunganya setiap bulan, ia dan ibunya yang sudah renta dapat hidup lebih layak. Tak sedikit pula dari mereka yang merasa diri tidak berguna, paling malang sedunia, atau terkena musibah yang tak terperikan, bangkit setelah menyaksikan kisah-kisah kehidupan para narasumber yang ‘menyedihkan’ namun tetap bertahan dan optimis menyongsong fajar kehidupan.

Apresiasi pemirsa terhadap tayangan Kick Andy juga tergambar dari ribuan komentar dan e-mail kesaksian yang tayang di website KickAndy.com. Dalam sebuah kesaksian, seorang penonton setianya, Harry, yang bekerja di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, rela menempuh jarak 40 km menggunakan sepeda motor untuk menyaksikan acara ini. Harry pun rela menginap di pom bensin setelah selesai nonton, dan menjelang pagi melanjutkan perjalanan pulang. Demi meningkatkan kualitas isi dan merek, sejak awal Agustus 2008, Kick Andy melakukan re-branding. Berbagai perubahan dilakukan. Mulai dari perubahan logo yang kini terkesan lebih santai. Dapat dilihat dari bentuk rangkaian huruf ‘Andy’ yang tertulis dengan huruf sambung berwarna putih, yang di atasnya terdapat rangkaian huruf ‘kick’ berwarna kuning yang ukurannya lebih kecil. Dan tapak sepatu berwarna merah yang terletak di samping kedua kata ‘Kick Andy’ menggantikan lambang telapak kaki yang dulu dipakai. Kemudian, hari dan jam tayang acara juga diubah, yang tadinya Kamis pukul 22.00 Wib menjadi Jumat pukul 21.30-23.00. Perubahan waktu penayangan ini lebih dikarenakan permintaan pemirsa setia Kick Andy agar memperpanjang jam tayang. Perubahan tampilan juga terjadi, set panggung diperbaharui tapi latar belakang gedung bertingkat yang mencerminkan Jakarta sebagai ‘kampung halaman’ tetap dipertahankan. Situs kickandy.com juga diperbaharui agar citra Kick Andy semakin solid.

Selain itu, diluncurkan pula, Kick Andy Foundation (KAF) yang menjadi media penyalur sumbangan bagi orang-orang yang tergerak hatinya setelah melihat tayangan dalam Kick Andy. “Orang sebenarnya banyak yang mau membantu hanya tidak tahu ke mana menyalurkan. Kalaupun tahu, ada yang khawatir diselewengkan,” tukas Andy. Meskipun saat itu baru diresmikan, KAF telah melakukan berbagai macam kegiatan, antara lain gerakan 1000 kaki palsu yang sudah disokong dana 1 miliar. Tim Kick Andy bersama para donatur menggandeng Sugeng Siswoyudono, si pemilik Bengkel Kaki Palsu menyediakan kaki palsu bagi mereka yang memerlukan. Dari segi pemilihan tema, Kick Andy juga sesekali mengulas isu-isu yang sedang marak dan kontroversial. Misalnya pada salah satu episode Kick Andy yang tayang pada Januari 2011 yakni mengenai perilaku seks bebas di kalangan remaja. Topik yang terbilang sensitif ini sempat dinodai dengan kabar terjadinya insiden ”pengusiran” oleh Andy F. Noya terhadap Ketua Kowani, Dewi Motik dan pengurus ASA Indonesia, Tatty Almir yang malam itu datang berdasarkan undangan salah seorang narasumber, psikolog Elly Risman. Namun dalam situsnya Andy menjabarkan kronologis peristiwa yang sebenarnya. Dalam menyikapi masalah tersebut, Andy tetap berusaha bijaksana, kalau pun dirasa ada kekurangan pada acara yang dipandunya, ia dengan rendah hati memohon maaf dan berusaha untuk lebih berhati-hati agar ke depan menjadi lebih baik. Belakangan, Andy mengaku telah keluar dari manajemen Media Group dan tengah membangun media miliknya sendiri. Meski begitu, ia masih dipercaya oleh Surya Paloh untuk menjadi Dewan Penasehat Redaksi di Media Group. Menurut Andy, ia memang sengaja keluar untuk mengembangkan karirnya. Selain itu ia juga memiliki keinginan untuk mendirikan media sendiri.

Sumber : Ensiklopedi Tokoh Indonesia

Tidak ada komentar: