Kamis, 14 Juli 2011

Cantik Itu Persepsi !!

Ditulis ulang : Imla W. Ilham, S.Ag

Dalam sebuah anekdot dikisahkan, ada seorang rimbawan tampan sekaligus don juan dikirim untuk sebuah tugas ke daerah pedalaman. Rupanya, naluri don juan- lebih kuat ketimbang bakat rimbawannya. Sebelum bekerja, yang pertama ia lakukan adalah men-survey gadis-gadis di wilayah itu. Ternyata tak ada yang sesuai dengan gambarannya. Dengan... setengah putus asa ia bertanya kepada kepala suku, “ Tak adakah gadis cantik di sini ?”. Kepala suku tertawa dengan senyum kemenangan, “ Gadis tercantik disini semua telah kunikahi..,”seraya menunjuk sederet perempuan yang sedang berselonjor di halaman. Mata sang rimbawan terbelalak, ternyata perempuan-perempuan itu gembrot-gembrot, berambut gimbal dengan bibir tebal dan berhidung pesek semua. Sang rimbawan berpikir, “ Waduh, yang tercantik saja begini jelek, bagaimana yang jelek…”

Cantik itu ada di wilayah persepsi manusia yang sangat rumit dan kompleks. Bukan hanya masalah subjektivitas pribadi saja yang mempengaruhi, akan tetapi nilai budaya, pandangan dunia, tingkat intelektualitas, cita rasa, zaman, tingkat ekonomi dan lainnya. Karenanya, dunia ini tak memiliki standar kecantikan yang baku. Bagi suku Maya yang tinggal di Yucatan, Amerika Tengah pada tahun 250 M- 925 M, perempuan cantik adalah yang tempurung kepalanya rata. Karena itu mereka sengaja meratakan kepala bayi dengan cara mengikatkan papan di dahi dan tempurung kepala bayi perempuan semenjak bayi bayi itu lahir, agar waktu dewasa perempuan itu nampak anggun dengan tulang-tulang dahi yang rata. Berbeda dengan suku Kayan di Burma dan Thailand. Perempuan cantik adalah mereka yang memakai kalung semacam gelang di leher yang terus ditambah seiring usianya. Akhirnya leher mereka nampak panjang. Dan tahukah anda, berat gelang-gelang yang melingkar di leher mereka bisa mencapai 10,5 kilo gram !. Bagi perempuan Mauritania, gembrot itu cantik. Karena itu sejak kecil anak perempuan diberi makanan yang berlemak tinggi, agar mencapai standar kecantikan yang sempurna versi Mauritania tentunya. Belum lagi kalau kita merujuk kecantikan ala India, perempuan menarik adalah yang memakai kumkum (tanda merah) di dahi.. Kemudian standar kecantikan perempuan Iran yang terletak pada hidungnya yang mungil, sehingga Iran menjadi negara dengan operasi hidung terbanyak di dunia. Perancis yang disebut-sebut sebagai kiblat kecantikan dan life style dunia memberi ukuran kecantikan yang di nilai dari tubuh yang langsing, anggun dan kecantikan yang berkelas. Karena itu tak heran jika perempuan Perancis senang menghabiskan waktunya di salon dan membelanjakan uang untuk mencapai standar kecantikan optimal. Sementara di Indonesia seperti juga trend di berbagai belahan dunia kontemporer, definisi cantik telah mengalami pergeseran. Konstruksi perempuan cantik sekarang telah ada di tangan industri kosmetik dan jagad hiburan. Cantik menjadi komoditas untuk meningkatkan omzet penjualan, menaikan tiras dan meningkatkan jumlah penonton untuk meraup keuntungan. Perempuan ideal menurut iklan adalah yang berkulit putih, mulus, halus, langsing, berambut lurus dan memuja pesona usia muda. Jadi, untuk perempuan hitam, keriting, gendut, tua dan ubanan tak ada tempat., blas..!

Demi melihat perempuan di sekelilingnya, Simone de Beauvoir seorang filsuf sekaligus feminis eksistensialis Perancis sempat mengecam gaya hidup yang berpusat pada tubuh sebagai pusat kesadaran perempuan. Menurutnya, perempuan yang keranjingan ke salon dan mengejar life syle, adalah perempuan yang tidak memiliki definisi diri dan narsis. Menurut Beauvoir, oke lah kalau buat gadis remaja, narsisme bisa membangun penyembahan ego, tetapi dalam jangka panjang keadaan seperti ini menghambat kemajuan diri perempuan. Simone mengatakan, apa yang terjadi dengan obsesi citra diri berpusat pada kecantikan hanyalah untuk memperturutkan hasrat diri akan persetujuan laki-laki dan selera masyarakat. Perempuan akhirnya tak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk menyatakan kecantikannya. Menurut Simone, biasanya, perempuan yang sangat sibuk memperhatikan ketidaksempurnaan tubuhnya, mereka tidak mempunyai waktu untuk meningkatkan pikirannya. Mungkin kita tidak bisa se-ekstrim itu, menahan perempuan supaya tidak mempercantik diri, karena itu adalah naluri. Di samping itu, kok enggak enak juga melihat perempuan atau pun laki-laki yang tidak merawat dirinya, tidak good looking. Merawat dan mempercantik diri sepanjang tidak berlebihan adalah bagian dari rasa syukur kita pada Tuhan, dan sepanjang tidak menjadikan tubuh dan wajahnya sebagai orientasi kehidupan, sehingga perempuan menjadi pasif konsumtif bukan aktif produktif. Sepertinya tentang cantik tidaknya perempuan kita sulit sepakat karena itu yang ada di wilayah selera dan persepsi. Bagaimana kalau soal standar moralitas ........ sepakatkah anda ?

Sumber : (c) E. Suminar/kompasiana (cc. FB Muhammad Ilham Fadli)
Rujukan buku : Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought, Penerbit Jalasutra, 1998

Tidak ada komentar: